Oleh: Andy Wiyanto
Dalam
pembentukan suatu norma hukum, termasuk di dalamnya adalah undang-undang dapat
berlaku beberapa faktor yang dapat merumuskan politik hukum di dalamya, yaitu:
Politik Hukum
Karena Faktor Filosofis
Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara filosofis
apabila norma hukum itu memang bersesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang
dianut oleh suatu negara. Seperti dalam pandangan Hans Kelsen mengenai ”gerund-norm” atau dalam pandangan Hans
Nawiasky tentang "staatsfundamentalnorm",
pada setiap negara selalu ditentukan adanya nilai-nilai dasar atau
nilai-nilai filosofis tertinggi yang diyakini sebagai sumber dari Segala sumber
nilai luhur dalam kehidupan kenegaraan yang bersangkutan.
Untuk hal ini, nilai-nilai filosofis negara Republik
Indonesia terkandung dalam Pancasila sebagai ”staatsfundamentalnorm". Di dalam rumusan kelima sila
Pancasila terkandung nilai-nilai religiusitas Ketuhanan Yang Maha Esa, humanitas
kemanusiaan yang adil dan beradab, nasionalitas kebangsaan dalam ikatan bhineka-tunggal-ika, soverenitas kerakyatan, dan sosialitas keadilan bagi
segenap rakyat Indonesia. Tidak satupun dari kelima nilai-nilai filosofis
tersebut yang boleh diabaikan atau malah ditentang oleh norma hukum yang
terdapat dalam berbagai kemungkinan bentuk peraturan perundang-undangan dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Politik Hukum
Karena Faktor Juridis
Keberlakuan
juridis adalah keberlakuan norma hukum dengan daya ikatnya untuk umum sesuatu
dogma. yang dilihat dari pertimbangan
bersifat
teknis juridis. Secara juridis, suatu norma hukum itu dikatakan berlaku apabila
norma hukum sendiri memang (i) ditetapkan sebagai norma hukum berdasarkan norma
hukum yang lebih superior atau yang lebih tinggi seperti dalam pandangan Hans
Kelsen dengan teorinya “Stuffenbau Theorie des Recht” (ii) ditetapkan mengikat atau
berlaku karena menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan
akibatnya seperti dalam pandangan J.H.A. Logemann (iii) ditetapkan sebagai norma
hukum menurut prosedur pembentukan hukum yang berlaku seperti dalan pandangan
W. Zevenbergen, dan (iv) ditetapkan sebagai norma hukum oleh lembaga yang
memang berwewenang untuk itu. Jika ketiga kriteria tersebut telah terpenuhi
sebagaimana mestinya, maka norma hukum yang bersangkutan dapat dikatakan memang
berlaku secara juridis.
Politik Hukum
Karena Faktor Politis
Suatu norma hukum
dikatakan berlaku secara politis apabila pemberlakuannya itu memang didukung
oleh faktor-faktor kekuatan politik yang nyata (riele machtsfactoren). Meskipun norma yang bersangkutan
didukung oleh masyarakat lapisan akar rumput, sejalan pula dengan cita-cita
filosofis negara, dan memiliki landasan juridis yang sangat kuat, tetapi tanpa
dukungan kekuatan politik yang mencukupi di parlemen, norma hukum yang
bersangkutan tidak mungkin mendapatkan dukungan politik untuk diberlakukan
sebagai hukum. Dengan perkataan lain, keberlakuan politik ini berkaitan dengan
teori kekuasaan (power theory) yang pada gilirannya memberikan
legitimasi pada keberlakuan suatu norma hukum semata-mata dari sudut pandang
kekuasaan. Apabila suatu norma hukum telah mendapatkan dukungan kekuasaan,
apapun wujudnya dan bagaimanapun proses pengambilan keputusan politik tersebut
dicapainya sudah cukup untuk menjadi dasar legitimasi bagi keberlakuan norma
hukum yang bersangkutan dari segi politik.
Politik Hukum
Karena Faktor Sosiologis
Pandangan sosiologis
mengenai keberlakuan ini cenderung lebih mengutamakan pendekatan yang empiris
dengan mengutamakan beberapa pilihan kriteria, yaitu (i) kriteria pengakuan (recognition theory), (ii) kriteria
penerimaan (reception theory), atau (iii) kriteria faktisitas hukum.
Kriteria pertama (principle of recognition) menyangkut sejauh mana
subjek hukum yang diatur memang mengakui keberadaan dan daya ikat serta
kewajibannya untuk menundukkan diri terhadap norma hukum yang bersangkutan.
Jika subjek hukum yang bersangkutan tidak merasa terikat, maka secara
sosiologis norma hukum yang bersangkutan tidak dapat dikatakan berlaku baginya.
Kriteria penerimaan
sebagai kriteria kedua (principle of reception) pada pokoknya berkenaan
dengan kesadaran masyarakat yang bersangkutan untuk menerima daya-atur,
daya-ikat, dan daya-paksa norma hukum tersebut baginya. Inilah yang dijadikan
dasar Christian Snouck Hurgronje menyatakan bahwa di Hindia Belanda dahulu yang
berlaku adalah hukum adat, bukan hukum Islam. Menurutnya, kalaupun hukum Islam
itu secara sosiologis dapat dikatakan berlaku, maka hal itu semata-mata
disebabkan oleh kenyataan bahwa masyarakat hukum adat sudah meresepsikannya ke
dalam tradisi hukum adat masyarakat setempat.
Sedangkan kriteria
ketiga menekankan pada kenyataan faktual (faktisitas
hukum), yaitu sejauh mana norma hukum itu sendiri memang sungguh-sungguh
berlaku efektif dalam kehidupan nyata masyarakat. Meskipun suatu norma hukum
secara juridis formal memang berlaku, diakui (recognized), dan diterima (received) oleh masyarakat sebagai sesuatu yang memang
ada (exist) dan
berlaku (valid), tetapi
dalam kenyataan praktiknya sama sekali tidak efektif, berarti dalam faktanya
norma hukum itu tidak berlaku. Oleh karena itu, suatu norma hokum
baru dapat berlaku secara sosiologis apabila norma dimaksud memang berlaku
menurut salah satu kriteria tersebut.
Dalam perspektif
implementasi hukum bidang politik, kajian sosiologis hukum menjadi lebih
menarik, terutama dalam penyelesaian sengketa politik, yang memperlihatkan
banyaknya variabel yang ikut berpengaruh, namun sekaligus memperlihatkan
keefektifan penyelesaian perkara politik di luar jalur pengadilan, yang
dilakukan dengan melalui mediasi oleh pihak ketiga. Hal itu menunjukkan, bahwa
keadilan tidak hanya dapat diperoleh di
pengadilan, tetapi lebih jauh dari
itu, keadilan yang sebenarnya muncul
kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa.
***
inspiratif , klik disini juga Buku: Perkembangan Hukum Tata Negara
BalasHapusbaik pak, terima kasih.
Hapus