Rabu, 01 Mei 2013

PENGARUH GLOBALISASI PENDIDIKAN HUKUM TERHADAP PERUBAHAN UUD 1945 DALAM ASPEK CHECKS AND BALANCES ANTARA LEMBAGA NEGARA

Oleh: Andy Wiyanto

     A.  PENDAHULUAN
Manusia ingin diikat dalam sebuah ikatan, yang kemudian ikatan itu dibuatnya sendiri. Akan tetapi pada sisi yang sebaliknya, manusia juga berusaha untuk lepas dari ikatan tersebut manakala hal itu dirasa sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhannya. Historiografi umat manusia telah meninggalkan jejak-jejak yang demikian, yaitu membangun dan mematuhi hukum dan merobohkan hukum. Sejarah hukum dipenuhi catatan akan usaha umat manusia dalam menemukan tatanan yang ideal bagi zamannya.[1]
Berkenaan dengan perubahan hukum tersebut, terdapat dua pandangan dominan yang saling tarik menarik antara keduanya dan satu sama lain memiliki dasar pembenarnya. Pertama adalah pandangan tradisional yang mengatakan bahwa masyarakat perlu berubah dahulu, baru kemudian hukum datang mengaturnya. Kedua adalah pandangan modern yang mengatakan bahwa hukum harus berperan untuk mengerakkan masyarakat menuju perubahan yang terencana, disini hukum berperan aktif sebagai alat rekayasa sosial.[2] Lawrence M. Friedman pada akhirnya menimbang bahwa hukum mengikuti perubahan sosial dan menyesuaikan dengan perubahan itu. Namun sistem hukum juga membentuk dan meyalurkan perubahan sosial, serta memainkan peranan penting dalam kehidupan.[3]
Perubahan sosial masyarakat Indonesia saat reformasi berhasil menjebol tembok sakralisasi UUD 1945[4], banyak hal yang dikemukakan oleh masyarakat (terutama akademisi), berkaitan dengan gagasan untuk memperbaiki UUD agar mampu membangun sistim ketatanegaraan yang demokratis.[5] Perubahan UUD 1945[6] selain perwujudan tuntutan reformasi juga sejalan dengan pidato Soekarno (Ketua Panitia Penyusunan UUD 1945) dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 sebagai berikut: “bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar Sementara, Undang-Undang Dasar Kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap.”[7]
Menurut Jakob Tobing, dalam proses perubahan UUD 1945 terdapat beberapa kubu dalam MPR. Dalam kubu yang menghendaki perubahan ada yang menginginkan UUD 1945 diganti dengan sebuah konstitusi baru[8], sehingga perlu dibentuk komisi konstitusi yang terdiri dari para ahli seperti yang pernah terjadi di Afrika Selatan dan Thailand sewaktu kedua Negara itu menyusun kembali konstitusi mereka. Tetapi sebagian lagi menghendaki agar Pembukaan UUD 1945 dipertahankan, sehingga cukup pasal dan ayatnya saja yang diubah dengan cara perubahan.[9] Di lain sisi juga terdapat pihak yang menginginkan agar UUD 1945 dipertahankan sebagaimana bentuk aslinya.[10] Pada akhirnya berdasarkan berbagai macam pertimbangan, disepakati oleh seluruh kekuatan politik waktu itu untuk melakukan perubahan atas UUD 1945 melalui cara perubahan dengan menggunakan tata cara yang diatur dalam pasal 37 UUD 1945.
Salah satu sebab yang melatarbelakangi dilakukannya perubahan UUD 1945 adalah struktur ketatanegaraan menurut UUD 1945 yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR (parlement heavy), akibatnya tidak terjadi mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi pada institusi-institusi ketatanegaraan. Sekalipun demikian dalam praktek justru sistem yang dianut dalam UUD 1945 adalah dominan eksekutif (executive heavy), yakni pada diri presiden terpusat kekuasaan menjalankan pemerintahan yang dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional (hak preogratif) dan memiliki kekuasaan legislatif.[11]
Mengenai kekurangan dari UUD 1945 ini, salah satu kritik datang dari Tim Lindsey yang mengatakan bahwa:
“ .... UUD 1945 tidak dengan jelas menggunakan sistem politik parlementer ataupun presidensial, tetapi justru menciptakan sebuah campuran yang saling tumpang tindih dan remang-remang yang mengandalkan pada pandangan tentang “pemilahan/pembagian” kekuasaan. Akibatnya, sistem check and balance antara yudikatif, legislatif, dan eksekutif diperlukan untuk [menciptakan] sebuah sistem politik yang demokratis yang selama ini belum pernah ada.”[12]

Menutupi kekurangan tersebut, dalam perubahan ketiga UUD 1945, MPR ternyata sudi mengurangi kewenangannya sendiri. Kekuasaannya untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dihapuskan. Akibatnya kekuasaan MPR untuk menyusun dan menetapkan GBHN juga hilang. Presiden diberi kekuasaan untuk mengatur agendanya sendiri. Tetapi MPR tetap memegang kekuasaan untuk mengperubahan dan meratifikasi Undang-Undang Dasar.[13] Mengenai hal ini Denny Indrayana berpendapat bahwa “Fakta bahwa MPR membatasi kekuasaannya sendiri, melalui perubahan yang dibuatnya sendiri, menunjukkan bahwa sebuah badan pembuat konstitusi juga bisa mereformasi dirinya sendiri melalui sebuah proses pembuatan konstitusi, asalkan ada tekanan yang kuat dari masyarakat.”[14]
Dengan ketentuan baru ini secara teoritis berarti terjadi perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu dari sistem yang vertrikal hierakis dengan prinsip supremasi MPR menjadi sistem yang horizontal fungsional dengan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi antar lembaga negara.[15] Dalam hal sistem pemerintahan, pasca perubahan UUD 1945 Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil yang lebih murni sifatnya.[16] Hal ini sesuai dengan kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945 yang terdiri atas lima butir yaitu:[17]
1.      Tidak mengubah pembukaan UUD 1945;
2.      Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3.      Mempertegas sistem pemerintahan presidensil;[18]
4.      Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan dalam pasal-pasal (batang tubuh);
5.      Melakukan perubahan dengan cara adendum.

Perubahan UUD 1945 seperti yang telah diutarakan sebelumnya mengadakan penguatan sistem presidensil di Indonesia. Walaupun demikian ciri pemerintahan parlementer tidaklah hilang begitu saja dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dewasa ini. Menurut Abdul Latif perkembangan sistem pemerintahan di Indonesia menuju kearah yang semakin unik, sebab dalam UUD 1945 disamping mengatur ciri-ciri sistem pemerintahan presidensil juga mengatur ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer. Lebih lanjut ia mengutarakan bahwa:
“Di lembaga kepresidenan bertahan dengan sistem presidensil, tetapi semangat yang berkembang di lembaga legislatif menuju ke arah sistem parlementer. Perubahan sistem pemilihan Presiden secara langsung adalah konsekuensi sistem presidensil, sedangkan sistem pembentukan kabinet, pengawasan dan pertanggungjawaban kebijakan politik cenderung ke sistem parlementer.”[19]

Dengan struktur ketatanegaraan pasca perubahan UUD 1945 yang telah mengadopsi ide pembagian kekuasaan dan tidak lagi didesain atas dasar prinsip supremasi parlemen dengan tidak menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara seperti sebelumnya, sehingga yang terjadi adalah pengadopsian prinsip checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang berkedaulatan konstitusi.

B.  GLOBALISASI PENDIDIKAN HUKUM SEBAGAI ASPEK PENGUBAH UUD 1945
Historiografi Negara-negara industri maju sesungguhnya dalam abad ke-18 telah mencatat mulai terjadi internasionalisasi, setelah seabad sebelumnya bangsa-bangsa itu sempat membuat koloni pada wilayah-wilayah seberang lautan. Kolonialisasi menjadikan daerah koloni sebagai pasar baru untuk produk-produk yang dihasilkan, sekaligus juga untuk memperoleh sumber-sumber bahan baku untuk diolah di pusat-pusat industri di negaranya masing-masing.[20]
Arus perubahan dalam poskolonialisme sekalipun tidak lagi menjadikan sebuah Negara menjadi sub-ordinat dengan Negara lainnya, namun tetap membuat industri dan ekonomi sebagai pangkal tolak dalam terjadinya globalisasi. Sunaryati Hartono dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran menangkap bahwa “Sejak dasawarsa 1950-an proses internasionalisasi ini semakin menembus batas-batas wilayah Negara nasional, hal mana dipercepat lagi oleh semakin banyaknya kegiatan kerjasama ekonomi, bantuan ekonomi internasional serta penanaman modal asing.”[21]
Internasionalisasi membuat tatanan dunia menjadi global, dimana hubungan antar warga dunia tidak dibatasi oleh sekat-sekat sempit otoritas kaku dari masing-masing Negara. Di segala bidang karena komunikasi yang semakin canggih, menyebabkan dunia seakan menjadi suatu Negara dunia. Setiap warga dunia dari satu Negara ke Negara yang lain akan berhadapan dengan hukum asing. Tentu hukum asing tersebut tidak mungkin sama atau bahkan sangat kontras dengan hukum di negaranya sendiri.[22]
Berkenaan dengan hal tersebut, kebutuhan akan informasi telah lama menjadi sesuatu yang penting dalam era globalisasi. Bahkan lebih dari dua puluh tahun yang lalu hal ini telah ditangkap oleh Amerika Serikat sebagaimana diutarakan Alvin Toffler bahwa “Meskipun belum diperhatikan secara luas, agenda informasi yang sedang muncul ini berkembang pesat sekali, sehingga sidang Kongres yang ke-101 di Amerika Serikat, membicarakan pendahuluan lebih dari seratus RUU yang berkaitan dengan isu-isu informasi.”[23]
Perubahan arus komunikasi dan informasi yang berkembang dengan pesat tersebut menciptakan suatu tatanan masyarakat yang baru dan mengancam. Kejutan masa depan[24] adalah penyakit yang dibawa oleh perubahan. Kejutan masa depan merupakan suatu krisis atas perubahan baik secara fisik maupun psikologis, yang muncul sebagai akibat kelebihan beban pada sistem adaptif organisme manusia. Namun demikian ketika perubahan melaju dengan deras, sebaliknya banyak bukti menunjukkan bahwa pendidikan sebagai salah satu subsistem yang begitu vital berfungsi begitu buruk sehingga membahayakan.[25]
Sebagai contoh Alvin Toffler[26] kemudian mengkritik sistem pendidikan di Amerika Serikat kala itu yang menghadap ke belakang ke sistem yang sedang sekarat, bukan menghadap ke depan kearah masyarakat baru yang sedang terbit. Energi terbesar justru digunakan untuk mencetak manusia industrial.[27] Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk membantu menghindari kejutan masa depan, harus diciptakan suatu sistem pendidikan superindustrialisme. Untuk melaksanakan hal tersebut, harus ada upaya mencari sasaran dan metode di masa depan, bukan di masa lalu.
Antithesis tersebut disadari urgensinya dalam pendidikan hukum, yang pada beberapa Negara usaha-usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan hukum sangat giat dilaksanakan. Bahkan banyak institusi pendidikan hukum kini melakukan percobaan-percobaan yang menggabungkan berbagai metode pengajaran baru dengan suatu konteks pendidikan yang berlainan dengan pendidikan regular dan seminar-seminar biasa. Keterampilan yang bersifat praktis dan teknis serta lebih didasarkan kepada penguasaan kenyataan dan keadaan hukum dari pada penguasaan teori dan prinsip hukum menjadi dalil dalam upaya peningkatan mutu pendidikan hukum. Sehingga dapat menghasilkan sarjana hukum yang mampu memecahkan berbagai dilema yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, dan bukan sebagai penahan dogma.[28]
Sebagai pengetahuan dasar tentang corak pendidikan hukum nasional, Soetandyo Wignjosoebroto[29] mengingatkan bahwa sesungguhnya institusi pendidikan hukum tidak pernah dikenal dalam tatanan dan sistem hukum penduduk asli di Kepulauan Nusantara. Harus diakui sebagai kenyataan sejarah bahwa pendidikan hukum dan profesi hukum itu adalah invansi dari peradaban Eropa Barat yang belum lama berselang mulai dikenal di Indonesia.[30] Lebih lanjut digambarkan bahwa pengaruh pendidikan hukum Belanda begitu dominan dalam perkembangan tata hukum nasional pada masa revolusi fisik Tahun 1945-1950. Gambaran Soetandyo Wignjosoebroto tersebut terekam sebagai berikut:
“Sementara itu budaya hukum para yuris yang mendukung beban kewajiban membangun hukum nasional amat sulit untuk menemukan pemikiran-pemikiran yang lateral dan menerobos. Berguru kepada guru-guru Belanda dalam situasi kolonial, pemikiran para yuris nasional ini pun mau tak mau telah diprakondisikan oleh doktrin-doktrin yang ada. Para perencana dan para Pembina hukum nasional –juga sekalipun mereka itu mengaku bersitegak sebagai eksponen hukum adat dan hukum Islam– adalah sesungguhnya pakar-pakar yang terlanjur terdidik dalam tradisi hukum Belanda, dan sedikit banyak akan ikut dicondongkan untuk berpikir dan bertindak menurut alur-alur tradisi ini, dan bergerak dengan modal sistem hukum positif peninggalan hukum Hindia Belanda (yang tetap dinyatakan berlaku berdasarkan berbagai aturan peralihan).”[31]

Dengan alam pikiran yang demikian, gagasan untuk mengadopsi gagasan checks and balances dalam UUD 1945 tidak tampak. Tatanan yang tidak asli Indonesia tersebut terkait dengan era globalisasi diperkirakan menjadi berbeda dengan masuknya paham sistem hukum Negara luar yang secara langsung akan mempengaruhi pendidikan hukum nasional sebagai dasar pengembangan dan penataan sistem hukum di Indonesia. Sehingga dalam proses perubahan UUD 1945 gagasan checks and balances muncul dan diadopsi oleh UUD 1945 hasil perubahan. Hal ini bisa menjadi tepat ataupun sebaliknya. Sebagai catatan, pendidikan hukum nasional dalam dunia global seharusnya merujuk kepada realitas dinamika masyarakat dan bukan mengingkarinya sehingga tercabut dari akar kehiduan masyarakat. [32]
Terkait dengan hal tersebut, bahwa pembinaan ilmu hukum nasional haruslah berdasarkan Wawasan Nusantara dan Wawasan Kebangsaan. Selain itu dalam mengajarkan ilmu Hukum Nasional berdasarkan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh pakar-pakar Indonesia sendiri, baru kemudian dilengkapi dengan pemikiran pakar-pakar asing, bukan sebaliknya.[33] Adanya pemikiran demikian bukanlah tanpa sebab. Gagasan tersebut muncul sebagai jawaban atas kenyataan sosiologis yang menempatkan pemikiran-pemikiran hukum asing yang banyak menjadi rujukan akibat pengaruh globalisasi, dalam hal ini adalah telah diadopsinya gagasan checks and balances oleh UUD 1945 setelah perubahan.
Menjadi linear sebagaimana pandangan Sunaryati Hartono bahwa kebutuhan akan sarjana hukum bukan sekadar untuk mengikuti arus globalisasi secara otomatis. Akan tetapi justru untuk dapat memilih secara sadar kaidah-kaidah asing, internasional atau transnasional yang baik atau boleh kita terima dan yang mana seyogyanya yang tidak kita terima ke dalam sistem hukum nasional kita. Atau bahkan harus kita tolak demi pelestarian jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia.[34] Sehingga adanya kajian globalisasi pendidikan hukum sebagai sebuah aspek pengubah hukum khususnya dalam pengadopsian sistem checks and balances telah mendapatkan relevansinya.

C.  MEKANISME CHECKS AND BALANCES DALAM UUD 1945 HASIL PERUBAHAN
Konsekuensi logis dari perubahan UUD 1945 dengan tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara adalah bahwa setiap lembaga tinggi negara memiliki kedudukan yang sama tinggi dengan kewenangannya masing-masing. Dengan kewenangannya itu terjadi mekanisme check and balances pada tiap-tiap lembaga negara. Mekanisme check and balances dimaksudkan agar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia terjadi pembatasan kekuasaan pada setiap lembaga negara, semua berjalan berdasar fungsinya masing-masing yang saling mengimbangi dan mengawasi.
1.    Mekanisme Checks And Balances Antara Eksekutif Dengan Legislatif
Mekanisme checks and balances antara eksekutif dengan legislatif terlihat dalam hal pembuatan Undang-Undang. Dahulu Presiden memegang kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR.[35] Hal ini menjadi salah satu sebab bahwa sebelum perubahan UUD 1945 sistem ketatanegaraan Indonesia yang sarat eksekutif (executive heavy), oleh sebab itu dalam perubahan UUD 1945 dirumuskan bahwa Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-Undang kepada DPR, sebagaimana ditegaskan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan ini dimaksudkan untuk meneguhkan kedudukan dan peranan DPR sebagai lembaga legislatif yang memegang kekuasaan legislatif sebagaimana penegasan Pasal 20 ayat (1). Perubahan pasal ini memindahkan titik berat kekuasaan legislatif yang awalnya berada di tangan Presiden menjadi di tangan DPR.[36] Akan tetapi menurut Sri Soemantri Mertosuwignyo dalam hal kekuasaan membentuk Undang-Uundang DPR tidak melakukannya sendiri, melainkan bersama-sama dengan Presiden.
“Oleh karena itu, dalam pembentukan undang-undang dan pelaksanaannya tidak muncul checks and balances. Yang ada ialah bahwa dalam hal DPR dan Presiden telah menyetujui rancangan undang-undang, kemudian Presiden tidak mengesahkan hal itu, dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang itu disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.”[37]

Transfer kekuasaan legislatif ini disepakati dalam perubahan pertama UUD 1945, tetapi masih ada pendapat berbeda. Jimly Asshiddiqie misalnya menyatakan:
“ .... pemerintahlah yang sesungguhnya paling banyak mengetahui mengenai kebutuhan untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan, karena birokrasi pemerintah paling banyak menguasai informasi dan expertise yang diperlukan untuk itu. .... Karena itu, dalam kaitannya dengan pengaturan soal ini menurut UUD 1945, sebenarnya, ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang lama dapat dikatakan sudah tepat, tinggal lagi meningkatkan fungsi kontrol DPR terhadap pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.”[38]

Selain itu mekanisme checks and balances juga dapat dilihat dalam penegasan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu perihal Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang dengan persetujuan DPR. Dalam hal Presiden mengangkat duta dan menerima duta dari negara lain Presiden juga memperhatikan pertimbangan DPR, sebagaimana penegasan dalam Pasal 13 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pertimbangan DPR dalam hal menerima duta asing dimaksudkan agar Presiden tidak disalahkan apabila menolak duta asing yang diajukan oleh negara lain karena telah ada pertimbangan DPR.[39] Menurut Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pertimbangan DPR juga diperlukan dalam hal pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden. Sebelum perubahan UUD 1945 persetujuan dan pertimbangan DPR tidaklah ada, sehingga kewenangan Presiden begitu luas dan rawan penyelewengan.
Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam hal rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pengajuannya dilakukan oleh Presiden dan dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Hal ini dimaksudkan karena dalam APBN ada bagian-bagian yang berkenaan dengan pembangunan daerah, maka pembahasannya dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan DPD.[40]
2.    Mekanisme Checks And Balances Antara Legislatif Dengan Yudikatif
Checks and balances antara legislatif dengan yudikatif terlihat dari Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Mahkamah Agung yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-undang. Sedangkan untuk pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Mahkamah Konstitusi yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mengenai hal ini Mohammad Mahfud MD berpendapat bahwa:
“Dengan adanya MK, lembaga legislatif tidak bisa lagi membuat UU secara serampangan baik karena kepentingan politik para anggotanya maupun karena kelemahan pemahaman atas substansi dan prosedur-prosedurnya. Sebab, kalau itu terjadi dan ternyata isinya bertentangan dengan UUD atau ternyata prosedur pembentukannya salah, MK dapat menguji untuk kemudian membatalkannya.”[41]

Dalam hal kewenangan uji materi antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi ini, ketua Mahkamah Konstitusi kedua ini juga memiliki pandangan tersendiri sebagai berikut:
“Idealnya ketentuan uji materi oleh lembaga yudisial untuk semua peraturan perundang-undangan ini dilakukan dalam satu jalur saja yaitu oleh Mahkamah Konstitusi dan tidak membagi kompetensi secara terbelah dan silang antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Peletakan pengujian pada satu jalur ini dipandang akan lebih baik karena lebih menjamin konsistensi dan konsentrasi penanganan oleh satu lembaga atas semua peraturan perundang-undangan mulai dari UU terhadap UUD sampai peraturan perundang-undangan terbawah terhadap peraturan perundang-undangan yang diatasnya.”[42]

Selain itu dalam mekanisme pemakzulan terlihat dari Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban untuk memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Kemudian dengan kewenangan-kewenangan yang besar tersebut, lembaga manakah yang berwenang mengawasi Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari mekanisme saling mengimbangi dan mengawasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Pertanyaan tersebut sebetulnya cukup terjawab dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.[43] Ketentuan ini didasari dengan pemikiran bahwa Hakim Agung dan para hakim merupakan figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi Hakim Agung duduk pada pengadilan tertinggi dalam susunan peradilan di Indonesia sehingga menjadi tumpuan harapan bagi pencari keadilan.[44]
Akan tetapi kewenangan Komisi Yudisial untuk melaksanakan fungsi pengawasan dipangkas melalui putusan Mahkamah Konsitusi pada Agustus 2006, praktis pekerjaan Komisi Yudisial pasca putusan tersebut hanya menyeleksi calon Hakim Agung.[45] Perihal pengawasan atas Mahkamah Konstitusi dan putusan tersebut Mohammad Mahfud MD memberikan catatan berupa:
“Sebenarnya garis politik hukum tentang pembentukan KY menginginkan pengawasan atas perilaku hakim oleh KY mencakup semua hakim yang mempunyai fungsi kehakiman, termasuk semua hakim konstitusi. Tetapi ketentuan tentang ini yang sudah dimuat dengan tegas di dalam UU tentang KY dibatalkan oleh putusan MK yang menyatakan bahwa hakim dalam pengertian pasal 24B UUD 1945 tidak mencakup hakim konstitusi .... Putusan MK tentang cakupan pengertian hakim ini, sesuai dengan ketentuan pasal 24C UUD 1945, bersifat final dan mengikat sehingga tidak bisa dimasukkan lagi dalam UU tentang KY yang baru nanti. Satu-satunya jalan untuk mengembalikan masalah ini ke garis politik hukum yang benar hanyalah melalui perubahan konstitusi yang harus menegaskan tentang itu secara eksplisit; sebab kita tidak bisa membiarkan MK dan hakim-hakimnya menjadi lembaga super yang tak bisa diawasi.”[46]

Mengacu pada penegasan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam hal pengaturan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang diatur dengan Undang-Undang. Hal ini juga menandakan bahwa ada mekanisme checks and balances antara lembaga yudikatif dengan legislatif. Ketentuan ini berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang membuka ruang partisipasi rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR untuk memperjuangkan agar aspirasi dan kepentingannya diakomodir dalam pembentukan Undang-Undang tersebut.[47]
3.    Mekanisme Checks And Balances Antara Eksekutif Dengan Yudikatif
Untuk hubungan antara eksekutif dengan yudikatif mekanisme checks and balances juga dapat dilihat dalam hal pemberian grasi dan rehabilitasi oleh Presiden yang mempertimbangkan pertimbangan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud oleh Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam struktur MPR pasca perubahan UUD 1945 juga terdapat mekanisme checks and balances, karena berdasar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 MPR terdiri dari anggota-anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Dengan adanya perubahan mengenai susunan MPR ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang seluruh anggota MPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Ketentuan ini sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan yaitu “perwakilan atas dasar pemilihan” (representatiton by election).[48] Makanisme ini juga diciptakan dengan keberadaan BPK sebagai lembaga yang bebas dan mendiri untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara seperti yang diamanatkan dalam Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

D.  PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas menjadi nyata bahwa globalisasi pendidikan hukum menjadi salah satu aspek yang mempengaruhi perubahan UUD 1945. Tentunya dalam pembahasan yang telah diuraikan tersebut diberikan batasan bahwa aspek globalisasi pendidikan hukum mempengaruhi masuknya gagasan checks and balances dalam UUD 1945 hasil perubahan.
Gagasan untuk membagi kekuasaan agar terjadi mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi antar lembaga negara tersebut tidak muncul dalam UUD 1945 karya para pendiri bangsa karena gagasan tersebut dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan ketika itu. Adanya pemikiran yang demikian mudahlah dipahami akibat adanya pengaruh pemikiran hukum dan sistem hukum yang ditinggalkan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pergeseran pemikiran tersebut terjadi pada saat perubahan UUD 1945 Tahun 1999-2002.
Adanya perubahan pemikiran dimaksud disebabkan oleh adanya globalisasi pendidikan hukum sebagai salah satu variabelnya. Bagaimanapun para anggota MPR Periode 1999-2004 hidup dalam suasana pendidikan yang jauh berbeda dari para pendiri bangsa. Mereka hidup tidak lagi dalam nuansa kolonial yang memungkinkan mendapat informasi yang lebih luas dari zaman sebelumnya. Dalam suasana tersebut, banyak gagasan-gagasan baru, termasuk gagasan lama yang telah berkembang mengikuti cepatnya arus globalisasi yang juga merambah dalam dunia pendidikan hukum.
Perubahan pemahaman tersebut dengan gamblang dapat dilihat misalnya dari banyaknya buku-buku asing yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai buku rujukan dalam perkuliahan para wakil rakyat itu ketika dahulu berkuliah. Buku-buku dimaksud tentu tidak hanya buku-buku dengan pengarang yang berasal dari negeri Belanda, namun juga dari belahan dunia lain yang tentu mempunyai tradisi yang berbeda dari negeri Belanda. Percepatan pergeseran pemahaman tersebut juga terjadi akibat banyaknya anggota MPR perubah UUD 1945 yang merupakan alumnus dari perguruan tinggi asing non Belanda. Tentu efek globalisasi pendidikan hukum tersebut memberikan imbas terhadap proses perubahan UUD 1945 yang kemudian menganut mekanisme checks and balances di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media, Jakarta, 2010
Asshiddiqie, Jimly, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press, Yogyakarta, 2004
-------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007
Dimyati, Khudzaifah, Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010
Friedman, Lawrence M., Hukum Amerika: Sebuah Pengantar, terjemahan Wishnu Basuki, Tatanusa, Jakarta, 2001
Hartono, Sunaryati, Politik Hukum menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991
Indrayana, Denny, Perubahan UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan, Bandung, 2007
Mahfud MD, Mohammad, Perdebatan Hukum Tata Negara: Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2007.
Manan, Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005
MPR RI, Sekretariat Jenderal, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, 2008
Rachman, Saiful, et al, (ed), Bunga Rampai Komisi Yudisial Dan Reformasi Peradilan, Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta, 2007.
Rahardjo, Satjipto, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2008
Toffler, Alvin, Gelombang Ketiga (Bagian Kedua), terjemahan Sri Koesdiyatinah, Pantja Simpati, Jakarta, 1990
-------, Kejutan Masa Depan, terjemahan Sri Koesdiyatinah, Pantja Simpati, Jakarta, 1992
-------, Pergeseran Kekuasaan (Bagian Kedua), terjemahan Hermawan Sulistyo, Pantja Simpati, Jakarta, 1992
Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995

Jurnal dan Makalah:
Asshiddiqie, Jimly, Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Perspektif Perubahan UUD 1945, Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, 29-31 Mei 2006
Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 3, September, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2009
Jurnal Negarawan Nomor 7, Februari, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 2008
Mahfud MD, Mohammad, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, 29-31 Mei 2006.
Mertosuwignyo, Sri Soemantri, Kapabilitas Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Menjalankan Mekanisme “Check And Balances” Dalam Hubungan Antara Eksekutif Dan Legislatif, Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, 29-31 Mei 2006
Sunny, Ismail, Amandemen UUD 1945 Dan Implikasinya Terhadap Arah Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional, Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, 29-31 Mei 2006




[1] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008), hlm. 7-8.
[2] Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), hlm. 7-8.
[3] Lawrence M. Friedman, Hukum Amerika: Sebuah Pengantar, terjemahan Wishnu Basuki (Jakarta: Tatanusa, 2001), hlm. 365.
[4] Dalam tulisan ini, nomenklatur UUD 1945 digunakan untuk undang-undang dasar sebelum perubahan dan ketika undang-undang dasar tersebut sedang dilakukan perubahan. Sedangkan nomenklatur Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 digunakan untuk undang-undang dasar setelah perubahan. Pengecualian terjadi dalam hal penggunaan kutipan langsung, sehingga menggunakan frasa asli sebagaimana ditulis oleh penulis terkait.
[5] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945 (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press, 2004), hlm. 65.
[6] Menurut Ismail Sunny penamaan perubahan (bukan penggantian Undang-Undang Dasar) masih dapat dipersoalkan. Sebab meskipun nama yang dipakai masih tetap UUD 1945, tetapi dari materi muatan UUD 1945 pasca perubahan saat ini dapat dikatakan merupakan konstitusi baru sama sekali. [Ismail Sunny, Amandemen UUD 1945 Dan Implikasinya Terhadap Arah Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional, dalam Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006), hlm. 1-2.]
[7] Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008), hlm. 5.
[8] Yang menjadi pertimbangan untuk mengganti UUD 1945 dengan UUD yang sama sekali baru adalah pada kesimpulan bahwa hal ini akan membawa konsekuensi politik yang amat mahal, Negara dalam keadaan rapuh. Menyusun UUD baru dalam keadaan seperti itu, yang berarti menyusun kembali kontrak politik antar warga, merancang ulang desain dan konstruksi Negara, amat tidak bijaksana dan bukan tidak mungkin akan mengakhiri eksistensi NKRI yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. [Jakob Tobing, “Perubahan UUD 1945 dan Reformasi” Jurnal Negarawan, Nomor 7 (Februari, 2008), hlm. 71.]
[9] Yang menjadi pertimbangan untuk mempertahankan Pembukaan UUD 1945 adalah karena pembukaan UUD 1945 mengandung nilai-nilai pokok Pancasila, sebagai saripati perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia sejak lama sekaligus merupakan tujuan dan cita-cita kemerdekaan. [Ibid, hlm. 72.]
[10] Yang menjadi pertimbangan untuk mempertahankan UUD 1945 seperti aslinya adalah bahwa hal ini akan mengulangi sejarah orde lama dan orde baru. Secara tidak langsung Jakob Tobing mengatakan bahwa sistem pemerintahan menurut UUD 1945 sebelum perubahan adalah tidak efektif. Pada zamannya hanya kebesaran Bung Karno yang memungkinkan beliau tetap lama memimpin. Sekalipun pada waktu beliau sakit kekuatan-kekuatan disekitarnya khususnya antara ABRI dan PKI berlomba untuk tidak di-fait accompli, untuk tidak didahului. Semuanya tragis dalam peristiwa gestok. Pemerintahan Bung Karno itupun sebetulnya tidak efektif karena harus tetap menjaga keseimbangan di antara partai-partai politik yang bertolak belakang secara ideologis. Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa sistem MPR menurut UUD 1945 sebelum perubahan hanya akan efektif bila ada partai tunggal atau partai dominan ala golkar, di mana Presiden adalah pemimpin dari kekuatan itu seperti yang dilakukan pada era orde baru. [Ibid, hlm. 72.]
[11] Sekretariat Jenderal MPR RI, op.cit., hlm. 6.
[12] Denny Indrayana, Perubahan UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 155.
[13] Ibid, hlm. 275.
[14] Ibid, hlm. 274-275.
[15] Sekretariat Jenderal MPR RI, op.cit., hlm. 50.
[16] Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 317. Menurut Sri Soemantri Mertosuwignyo sebelum diubah, UUD 1945 juga menganut ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer. [Sri Soemantri Mertosuwignyo, Kapabilitas Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Menjalankan Mekanisme “Check And Balances” Dalam Hubungan Antara Eksekutif Dan Legislatif, dalam Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006), hlm. 5.] Ia menambahkan bahwa sistem pemerintahan presidensil untuk pertama kali dianut dan dilaksanakan di Amerika Serikat. Itulah sebabnya sistem pemerintahan ini oleh Maurice Duverger diberi nama sistem pemerintahan pola Amerika Serikat. Dalam kepustakaan Inggris oleh SL. Witman dan JJ. Wuest sistem pemerintahan ini juga disebut Presidential Government dan oleh CF. Strong disebut sebagai the fixed excecutive. [Ibid, hlm. 3.]
[17] Sekretariat Jenderal MPR RI, op.cit., 13.
[18] Kesepakatan ini dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensil. Penyempurnaan dilakukan dengan perubahan kedudukan MPR yang mengakibatkan kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Perubahan selanjutnya untuk menyempurnakan sistem presidensil adalah menyeimbangkan legitimasi dan kedudukan antara lembaga eksekutif dan legislatif, dalam hal ini terutama antara DPR dan Prsiden. [Jimly Asshiddiqie, Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Perspektif Perubahan UUD 1945, dalam Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006), hlm. 4.]
[19] Abdul Latif, “Pilpres dalam Perspektif Koali si Multipartai” Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 3 (September, 2009), hlm. 28.
[20] Sunaryati Hartono, Politik Hukum menuju Satu Sistem Hukum Nasional (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 66.
[21] Ibid., hlm. 67.
[22] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), hlm. 184-185.
[23] Alvin Toffler, Pergeseran Kekuasaan (Bagian Kedua), terjemahan Hermawan Sulistyo (Jakarta: Pantja Simpati, 1992), hlm. 94.
[24] Istilah ini pertama kali diperkenalkan Alvin Toffler Tahun 1965 dalam sebuah artikel untuk melukiskan tekanan dan disorientasi hebat yang dialami oleh manusia jika terlampau banyak dibebani perubahan dalam waktu yang terlampau singkat. [Alvin Toffler, Kejutan Masa Depan, terjemahan Sri Koesdiyatinah (Jakarta: Pantja Simpati, 1992), hlm. 10.]
[25] Ibid., hlm. 355.
[26] Ibid., hlm. 356.
[27] Dalam hal ini kebutuhan untuk mencetak manusia industrial telah kehilangan relevansinya, sebab Toffler membagi kurun peradaban manusia menjadi tiga bagian, yaitu gelombang pertama yang agrikultural, gelombang kedua sebagai tahapan industrial dan gelombang ketiga yaitu tahap yang sekarang telah dimulai. [Alvin Toffler, Gelombang Ketiga (Bagian Kedua), terjemahan Sri Koesdiyatinah (Jakarta: Pantja Simpati, 1990), hlm. xix.]
[28] Abdul Manan, Op.cit., hlm. 141.
[29] Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990 (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 222.
[30] Sebagai implikasinya, perkembangan hukum Indonesia pada tahun-tahun pertama kemerdekaannya dalam praktiknya hanyalah merupakan kelanjutan dari apa yang telah dipraktikkan pada masa-masa sebelumnya. [Ibid.]
[31] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 188-189.
[32] Ibid., hlm. 234.
[33] Sunaryati Hartono, Op.cit., hlm. 55.
[34] Ibid., hlm. 74-75.
[35] Vide Pasal 5 ayat (1) UUD 1945.
[36] Sekretariat Jenderal MPR RI, op.cit., hlm. 53.
[37] Sri Soemantri Mertosuwignyo, op.cit., hlm. 10.
[38] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara...., op.cit., hlm. 188.
[39] Sekretariat Jenderal MPR RI, op.cit., hlm. 73.
[40] Ibid, hlm. 97.
[41] Mohammad Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara: Pasca Perubahan Konstitusi (Jakarta: LP3ES, 2007), hlm. 73.
[42] Mohammad Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, dalam Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006), hlm. 27.
[43] Menurut penegasan Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Komisi Yudisial selain berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung juga mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim.
[44] Sekretariat Jenderal MPR RI, op.cit., hlm. 104.
[45] Mohammad Mahfud MD, Komisi Yudisial Dalam Mosaik Ketatanegaraan Kita, dalam Saiful Rachman, et al, (editor), Bunga Rampai Komisi Yudisial Dan Reformasi Peradilan (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007), hlm. 1.
[46] Ibid, hlm. 17-18.
[47] Sekretariat Jenderal MPR RI, op.cit., hlm. 102.
[48] Ibid, hlm. 49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar