Oleh: Andy Wiyanto
A.
PENDAHULUAN
Manusia ingin diikat dalam sebuah
ikatan, yang kemudian ikatan itu dibuatnya sendiri. Akan tetapi pada sisi yang
sebaliknya, manusia juga berusaha untuk lepas dari ikatan tersebut manakala hal
itu dirasa sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhannya. Historiografi umat
manusia telah meninggalkan jejak-jejak yang demikian, yaitu membangun dan
mematuhi hukum dan merobohkan hukum. Sejarah hukum dipenuhi catatan akan usaha
umat manusia dalam menemukan tatanan yang ideal bagi zamannya.[1]
Berkenaan dengan perubahan hukum
tersebut, terdapat dua pandangan dominan yang saling tarik menarik antara
keduanya dan satu sama lain memiliki dasar pembenarnya. Pertama adalah
pandangan tradisional yang mengatakan bahwa masyarakat perlu berubah dahulu, baru
kemudian hukum datang mengaturnya. Kedua adalah pandangan modern yang
mengatakan bahwa hukum harus berperan untuk mengerakkan masyarakat menuju
perubahan yang terencana, disini hukum berperan aktif sebagai alat rekayasa
sosial.[2]
Lawrence M. Friedman pada akhirnya menimbang bahwa hukum mengikuti perubahan
sosial dan menyesuaikan dengan perubahan itu. Namun sistem hukum juga membentuk
dan meyalurkan perubahan sosial, serta memainkan peranan penting dalam
kehidupan.[3]
Perubahan sosial
masyarakat Indonesia saat reformasi berhasil
menjebol tembok sakralisasi UUD 1945[4], banyak hal
yang dikemukakan oleh masyarakat (terutama akademisi), berkaitan dengan gagasan
untuk memperbaiki UUD agar mampu membangun sistim ketatanegaraan yang
demokratis.[5] Perubahan UUD
1945[6] selain
perwujudan tuntutan reformasi juga sejalan dengan pidato Soekarno (Ketua
Panitia Penyusunan UUD 1945) dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 sebagai berikut: “bahwa ini adalah
sekedar Undang-Undang Dasar Sementara, Undang-Undang Dasar Kilat, bahwa
barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita
membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap.”[7]
Menurut Jakob Tobing, dalam proses
perubahan UUD 1945 terdapat beberapa kubu dalam MPR. Dalam kubu yang
menghendaki perubahan ada yang menginginkan UUD 1945 diganti dengan sebuah
konstitusi baru[8],
sehingga perlu dibentuk komisi konstitusi yang terdiri dari para ahli seperti
yang pernah terjadi di Afrika Selatan dan Thailand sewaktu kedua Negara itu
menyusun kembali konstitusi mereka. Tetapi sebagian lagi menghendaki agar
Pembukaan UUD 1945 dipertahankan, sehingga cukup pasal dan ayatnya saja yang
diubah dengan cara perubahan.[9]
Di lain sisi juga terdapat pihak yang menginginkan agar UUD 1945 dipertahankan
sebagaimana bentuk aslinya.[10]
Pada akhirnya berdasarkan berbagai macam pertimbangan, disepakati oleh seluruh
kekuatan politik waktu itu untuk melakukan perubahan atas UUD 1945 melalui cara
perubahan dengan menggunakan tata cara yang diatur dalam pasal 37 UUD 1945.
Salah satu sebab yang melatarbelakangi
dilakukannya perubahan UUD 1945 adalah struktur ketatanegaraan menurut UUD 1945
yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR (parlement heavy),
akibatnya tidak terjadi mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi pada
institusi-institusi ketatanegaraan. Sekalipun demikian dalam praktek justru
sistem yang dianut dalam UUD 1945 adalah dominan eksekutif (executive heavy),
yakni pada diri presiden terpusat kekuasaan menjalankan pemerintahan yang
dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional (hak preogratif) dan memiliki
kekuasaan legislatif.[11]
Mengenai kekurangan dari UUD 1945 ini, salah
satu kritik datang dari Tim Lindsey yang mengatakan bahwa:
“ .... UUD 1945 tidak dengan jelas menggunakan sistem
politik parlementer ataupun presidensial, tetapi justru menciptakan sebuah
campuran yang saling tumpang tindih dan remang-remang yang mengandalkan pada
pandangan tentang “pemilahan/pembagian” kekuasaan. Akibatnya, sistem check
and balance antara yudikatif, legislatif, dan eksekutif diperlukan untuk
[menciptakan] sebuah sistem politik yang demokratis yang selama ini belum
pernah ada.”[12]
Menutupi
kekurangan tersebut, dalam perubahan ketiga UUD 1945, MPR ternyata sudi
mengurangi kewenangannya sendiri. Kekuasaannya untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden dihapuskan. Akibatnya kekuasaan MPR untuk menyusun dan menetapkan GBHN
juga hilang. Presiden diberi kekuasaan untuk mengatur agendanya sendiri. Tetapi
MPR tetap memegang kekuasaan untuk mengperubahan dan meratifikasi Undang-Undang
Dasar.[13]
Mengenai hal ini Denny Indrayana berpendapat bahwa “Fakta bahwa MPR membatasi
kekuasaannya sendiri, melalui perubahan yang dibuatnya sendiri, menunjukkan
bahwa sebuah badan pembuat konstitusi juga bisa mereformasi dirinya sendiri
melalui sebuah proses pembuatan konstitusi, asalkan ada tekanan yang kuat dari
masyarakat.”[14]
Dengan
ketentuan baru ini secara teoritis berarti terjadi perubahan fundamental dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu dari sistem yang vertrikal hierakis
dengan prinsip supremasi MPR menjadi sistem yang horizontal fungsional dengan
prinsip saling mengawasi dan mengimbangi antar lembaga negara.[15]
Dalam hal sistem pemerintahan, pasca perubahan UUD 1945 Indonesia menganut
sistem pemerintahan presidensil yang lebih murni sifatnya.[16]
Hal ini sesuai dengan kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945
yang terdiri atas lima butir yaitu:[17]
1.
Tidak
mengubah pembukaan UUD 1945;
2.
Tetap
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3.
Mempertegas
sistem pemerintahan presidensil;[18]
4.
Penjelasan
UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan dalam pasal-pasal (batang
tubuh);
5.
Melakukan
perubahan dengan cara adendum.
Perubahan UUD
1945 seperti yang telah diutarakan sebelumnya mengadakan penguatan sistem
presidensil di Indonesia. Walaupun demikian ciri pemerintahan parlementer
tidaklah hilang begitu saja dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dewasa ini.
Menurut Abdul Latif perkembangan sistem pemerintahan di Indonesia menuju kearah
yang semakin unik, sebab dalam UUD 1945 disamping mengatur ciri-ciri sistem
pemerintahan presidensil juga mengatur ciri-ciri sistem pemerintahan
parlementer. Lebih lanjut ia
mengutarakan bahwa:
“Di lembaga kepresidenan bertahan dengan sistem
presidensil, tetapi semangat yang berkembang di lembaga legislatif menuju ke
arah sistem parlementer. Perubahan sistem pemilihan Presiden secara langsung
adalah konsekuensi sistem presidensil, sedangkan sistem pembentukan kabinet,
pengawasan dan pertanggungjawaban kebijakan politik cenderung ke sistem
parlementer.”[19]
Dengan
struktur ketatanegaraan pasca perubahan UUD 1945 yang telah mengadopsi ide
pembagian kekuasaan dan tidak lagi didesain atas dasar prinsip supremasi
parlemen dengan tidak menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara seperti
sebelumnya, sehingga yang terjadi adalah pengadopsian prinsip checks and balances dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang berkedaulatan konstitusi.
B.
GLOBALISASI PENDIDIKAN HUKUM
SEBAGAI ASPEK PENGUBAH UUD 1945
Historiografi Negara-negara industri maju
sesungguhnya dalam abad ke-18 telah mencatat mulai terjadi internasionalisasi,
setelah seabad sebelumnya bangsa-bangsa itu sempat membuat koloni pada
wilayah-wilayah seberang lautan. Kolonialisasi menjadikan daerah koloni sebagai
pasar baru untuk produk-produk yang dihasilkan, sekaligus juga untuk memperoleh
sumber-sumber bahan baku untuk diolah di pusat-pusat industri di negaranya
masing-masing.[20]
Arus perubahan dalam poskolonialisme sekalipun
tidak lagi menjadikan sebuah Negara menjadi sub-ordinat dengan Negara lainnya,
namun tetap membuat industri dan ekonomi sebagai pangkal tolak dalam terjadinya
globalisasi. Sunaryati Hartono dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran menangkap bahwa “Sejak dasawarsa 1950-an proses
internasionalisasi ini semakin menembus batas-batas wilayah Negara nasional,
hal mana dipercepat lagi oleh semakin banyaknya kegiatan kerjasama ekonomi,
bantuan ekonomi internasional serta penanaman modal asing.”[21]
Internasionalisasi membuat tatanan dunia
menjadi global, dimana hubungan antar warga dunia tidak dibatasi oleh
sekat-sekat sempit otoritas kaku dari masing-masing Negara. Di segala bidang
karena komunikasi yang semakin canggih, menyebabkan dunia seakan menjadi suatu
Negara dunia. Setiap warga dunia dari satu Negara ke Negara yang lain akan
berhadapan dengan hukum asing. Tentu hukum asing tersebut tidak mungkin sama
atau bahkan sangat kontras dengan hukum di negaranya sendiri.[22]
Berkenaan dengan hal tersebut, kebutuhan akan
informasi telah lama menjadi sesuatu yang penting dalam era globalisasi. Bahkan
lebih dari dua puluh tahun yang lalu hal ini telah ditangkap oleh Amerika
Serikat sebagaimana diutarakan Alvin Toffler bahwa “Meskipun belum diperhatikan
secara luas, agenda informasi yang sedang muncul ini berkembang pesat sekali,
sehingga sidang Kongres yang ke-101 di Amerika Serikat, membicarakan
pendahuluan lebih dari seratus RUU yang berkaitan dengan isu-isu informasi.”[23]
Perubahan arus komunikasi dan informasi yang
berkembang dengan pesat tersebut menciptakan suatu tatanan masyarakat yang baru
dan mengancam. Kejutan masa depan[24] adalah
penyakit yang dibawa oleh perubahan. Kejutan masa depan merupakan suatu krisis
atas perubahan baik secara fisik maupun psikologis, yang muncul sebagai akibat
kelebihan beban pada sistem adaptif organisme manusia. Namun demikian ketika
perubahan melaju dengan deras, sebaliknya banyak bukti menunjukkan bahwa
pendidikan sebagai salah satu subsistem yang begitu vital berfungsi begitu
buruk sehingga membahayakan.[25]
Sebagai contoh Alvin Toffler[26] kemudian
mengkritik sistem pendidikan di Amerika Serikat kala itu yang menghadap ke
belakang ke sistem yang sedang sekarat, bukan menghadap ke depan kearah
masyarakat baru yang sedang terbit. Energi terbesar justru digunakan untuk
mencetak manusia industrial.[27] Lebih lanjut
dikatakan bahwa untuk membantu menghindari kejutan masa depan, harus diciptakan
suatu sistem pendidikan superindustrialisme. Untuk melaksanakan hal tersebut,
harus ada upaya mencari sasaran dan metode di masa depan, bukan di masa lalu.
Antithesis tersebut disadari urgensinya dalam
pendidikan hukum, yang pada beberapa Negara usaha-usaha untuk meningkatkan mutu
pendidikan hukum sangat giat dilaksanakan. Bahkan banyak institusi pendidikan
hukum kini melakukan percobaan-percobaan yang menggabungkan berbagai metode
pengajaran baru dengan suatu konteks pendidikan yang berlainan dengan
pendidikan regular dan seminar-seminar biasa. Keterampilan yang bersifat
praktis dan teknis serta lebih didasarkan kepada penguasaan kenyataan dan
keadaan hukum dari pada penguasaan teori dan prinsip hukum menjadi dalil dalam
upaya peningkatan mutu pendidikan hukum. Sehingga dapat menghasilkan sarjana
hukum yang mampu memecahkan berbagai dilema yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat, dan bukan sebagai penahan dogma.[28]
Sebagai pengetahuan dasar tentang corak
pendidikan hukum nasional, Soetandyo Wignjosoebroto[29] mengingatkan
bahwa sesungguhnya institusi pendidikan hukum tidak pernah dikenal dalam
tatanan dan sistem hukum penduduk asli di Kepulauan Nusantara. Harus diakui
sebagai kenyataan sejarah bahwa pendidikan hukum dan profesi hukum itu adalah
invansi dari peradaban Eropa Barat yang belum lama berselang mulai dikenal di
Indonesia.[30] Lebih lanjut
digambarkan bahwa pengaruh pendidikan hukum Belanda begitu dominan dalam
perkembangan tata hukum nasional pada masa revolusi fisik Tahun 1945-1950.
Gambaran Soetandyo Wignjosoebroto tersebut terekam sebagai berikut:
“Sementara itu budaya hukum para
yuris yang mendukung beban kewajiban membangun hukum nasional amat sulit untuk
menemukan pemikiran-pemikiran yang lateral dan menerobos. Berguru kepada
guru-guru Belanda dalam situasi kolonial, pemikiran para yuris nasional ini pun
mau tak mau telah diprakondisikan oleh doktrin-doktrin yang ada. Para perencana
dan para Pembina hukum nasional –juga sekalipun mereka itu mengaku bersitegak
sebagai eksponen hukum adat dan hukum Islam– adalah sesungguhnya pakar-pakar
yang terlanjur terdidik dalam tradisi hukum Belanda, dan sedikit banyak akan
ikut dicondongkan untuk berpikir dan bertindak menurut alur-alur tradisi ini,
dan bergerak dengan modal sistem hukum positif peninggalan hukum Hindia Belanda
(yang tetap dinyatakan berlaku berdasarkan berbagai aturan peralihan).”[31]
Dengan alam pikiran yang demikian, gagasan
untuk mengadopsi gagasan checks and
balances dalam UUD 1945 tidak tampak. Tatanan yang tidak asli Indonesia
tersebut terkait dengan era globalisasi diperkirakan menjadi berbeda dengan
masuknya paham sistem hukum Negara luar yang secara langsung akan mempengaruhi
pendidikan hukum nasional sebagai dasar pengembangan dan penataan sistem hukum
di Indonesia. Sehingga dalam proses perubahan UUD 1945 gagasan checks and balances muncul dan diadopsi
oleh UUD 1945 hasil perubahan. Hal ini bisa menjadi tepat ataupun sebaliknya.
Sebagai catatan, pendidikan hukum nasional dalam dunia global seharusnya
merujuk kepada realitas dinamika masyarakat dan bukan mengingkarinya sehingga
tercabut dari akar kehiduan masyarakat. [32]
Terkait dengan hal tersebut, bahwa pembinaan
ilmu hukum nasional haruslah berdasarkan Wawasan Nusantara dan Wawasan
Kebangsaan. Selain itu dalam mengajarkan ilmu Hukum Nasional berdasarkan
pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh pakar-pakar Indonesia sendiri, baru
kemudian dilengkapi dengan pemikiran pakar-pakar asing, bukan sebaliknya.[33] Adanya
pemikiran demikian bukanlah tanpa sebab. Gagasan tersebut muncul sebagai
jawaban atas kenyataan sosiologis yang menempatkan pemikiran-pemikiran hukum
asing yang banyak menjadi rujukan akibat pengaruh globalisasi, dalam hal ini
adalah telah diadopsinya gagasan checks
and balances oleh UUD 1945 setelah perubahan.
Menjadi linear sebagaimana pandangan Sunaryati
Hartono bahwa kebutuhan akan sarjana hukum bukan sekadar untuk mengikuti arus
globalisasi secara otomatis. Akan tetapi justru untuk dapat memilih secara
sadar kaidah-kaidah asing, internasional atau transnasional yang baik atau
boleh kita terima dan yang mana seyogyanya yang tidak kita terima ke dalam
sistem hukum nasional kita. Atau bahkan harus kita tolak demi pelestarian jati
diri dan kepribadian bangsa Indonesia.[34] Sehingga
adanya kajian globalisasi pendidikan hukum sebagai sebuah aspek pengubah hukum
khususnya dalam pengadopsian sistem checks
and balances telah mendapatkan relevansinya.
C.
MEKANISME CHECKS AND BALANCES DALAM
UUD 1945 HASIL PERUBAHAN
Konsekuensi
logis dari perubahan UUD 1945 dengan tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara
adalah bahwa setiap lembaga tinggi negara memiliki kedudukan yang sama tinggi
dengan kewenangannya masing-masing. Dengan kewenangannya itu terjadi mekanisme check and balances pada tiap-tiap lembaga negara. Mekanisme check and balances dimaksudkan agar dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia terjadi pembatasan kekuasaan pada setiap lembaga negara, semua
berjalan berdasar fungsinya masing-masing yang saling mengimbangi dan
mengawasi.
1. Mekanisme Checks And
Balances Antara Eksekutif Dengan Legislatif
Mekanisme checks and balances antara eksekutif
dengan legislatif terlihat dalam hal pembuatan Undang-Undang. Dahulu Presiden
memegang kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR.[35]
Hal ini menjadi salah satu sebab bahwa sebelum perubahan UUD 1945 sistem ketatanegaraan
Indonesia yang sarat eksekutif (executive heavy), oleh sebab itu dalam
perubahan UUD 1945 dirumuskan bahwa Presiden berhak mengajukan rancangan
Undang-Undang kepada DPR, sebagaimana ditegaskan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan ini dimaksudkan untuk meneguhkan
kedudukan dan peranan DPR sebagai lembaga legislatif yang memegang kekuasaan
legislatif sebagaimana penegasan Pasal 20 ayat (1). Perubahan pasal ini
memindahkan titik berat kekuasaan legislatif yang awalnya berada di tangan
Presiden menjadi di tangan DPR.[36]
Akan tetapi menurut Sri Soemantri Mertosuwignyo dalam hal kekuasaan membentuk
Undang-Uundang DPR tidak melakukannya sendiri, melainkan bersama-sama dengan
Presiden.
“Oleh karena itu, dalam pembentukan
undang-undang dan pelaksanaannya tidak muncul checks and balances. Yang ada
ialah bahwa dalam hal DPR dan Presiden telah menyetujui rancangan
undang-undang, kemudian Presiden tidak mengesahkan hal itu, dalam waktu tiga
puluh hari semenjak rancangan undang-undang itu disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.”[37]
Transfer kekuasaan legislatif ini disepakati
dalam perubahan pertama UUD 1945, tetapi masih ada pendapat berbeda. Jimly
Asshiddiqie misalnya menyatakan:
“ .... pemerintahlah yang
sesungguhnya paling banyak mengetahui mengenai kebutuhan untuk membuat suatu
peraturan perundang-undangan, karena birokrasi pemerintah paling banyak
menguasai informasi dan expertise yang diperlukan untuk itu. .... Karena itu,
dalam kaitannya dengan pengaturan soal ini menurut UUD 1945, sebenarnya,
ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang lama dapat dikatakan sudah tepat, tinggal lagi
meningkatkan fungsi kontrol DPR terhadap pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.”[38]
Selain itu mekanisme checks and balances juga
dapat dilihat dalam penegasan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu perihal Presiden menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang dengan persetujuan
DPR. Dalam hal Presiden mengangkat duta dan menerima duta dari negara lain
Presiden juga memperhatikan pertimbangan DPR, sebagaimana penegasan dalam Pasal
13 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pertimbangan DPR dalam hal menerima duta asing dimaksudkan agar Presiden tidak
disalahkan apabila menolak duta asing yang diajukan oleh negara lain karena
telah ada pertimbangan DPR.[39]
Menurut Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, pertimbangan DPR juga diperlukan dalam hal pemberian amnesti dan abolisi
oleh Presiden. Sebelum perubahan UUD 1945 persetujuan dan pertimbangan DPR
tidaklah ada, sehingga kewenangan Presiden begitu luas dan rawan penyelewengan.
Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam hal rancangan Undang-Undang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pengajuannya dilakukan oleh Presiden dan
dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Hal ini dimaksudkan
karena dalam APBN ada bagian-bagian yang berkenaan dengan pembangunan daerah,
maka pembahasannya dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan DPD.[40]
2. Mekanisme Checks And
Balances Antara Legislatif Dengan Yudikatif
Checks and
balances antara legislatif
dengan yudikatif terlihat dari Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Mahkamah Agung yang
berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap
Undang-undang. Sedangkan untuk pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar Mahkamah Konstitusi yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final, sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mengenai hal ini
Mohammad Mahfud MD berpendapat bahwa:
“Dengan adanya MK, lembaga legislatif tidak bisa lagi
membuat UU secara serampangan baik karena kepentingan politik para anggotanya
maupun karena kelemahan pemahaman atas substansi dan prosedur-prosedurnya.
Sebab, kalau itu terjadi dan ternyata isinya bertentangan dengan UUD atau
ternyata prosedur pembentukannya salah, MK dapat menguji untuk kemudian
membatalkannya.”[41]
Dalam hal kewenangan
uji materi antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi ini, ketua Mahkamah
Konstitusi kedua ini juga memiliki pandangan tersendiri sebagai berikut:
“Idealnya ketentuan uji materi oleh lembaga yudisial
untuk semua peraturan perundang-undangan ini dilakukan dalam satu jalur saja
yaitu oleh Mahkamah Konstitusi dan tidak membagi kompetensi secara terbelah dan
silang antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Peletakan pengujian pada
satu jalur ini dipandang akan lebih baik karena lebih menjamin konsistensi dan
konsentrasi penanganan oleh satu lembaga atas semua peraturan
perundang-undangan mulai dari UU terhadap UUD sampai peraturan
perundang-undangan terbawah terhadap peraturan perundang-undangan yang
diatasnya.”[42]
Selain itu
dalam mekanisme pemakzulan terlihat
dari Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban untuk
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Kemudian dengan
kewenangan-kewenangan yang besar tersebut, lembaga manakah yang berwenang
mengawasi Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari mekanisme saling mengimbangi
dan mengawasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Pertanyaan
tersebut sebetulnya cukup terjawab dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 tahun
2004 Tentang Komisi Yudisial.[43]
Ketentuan ini didasari dengan pemikiran bahwa Hakim Agung dan para hakim
merupakan figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan
keadilan. Apalagi Hakim Agung duduk pada pengadilan tertinggi dalam susunan
peradilan di Indonesia sehingga menjadi tumpuan harapan bagi pencari keadilan.[44]
Akan tetapi
kewenangan Komisi Yudisial untuk melaksanakan fungsi pengawasan dipangkas
melalui putusan Mahkamah Konsitusi pada Agustus 2006, praktis pekerjaan Komisi
Yudisial pasca putusan tersebut hanya menyeleksi calon Hakim Agung.[45]
Perihal pengawasan atas Mahkamah Konstitusi dan putusan tersebut Mohammad
Mahfud MD memberikan catatan berupa:
“Sebenarnya garis politik hukum tentang pembentukan KY
menginginkan pengawasan atas perilaku hakim oleh KY mencakup semua hakim yang
mempunyai fungsi kehakiman, termasuk semua hakim konstitusi. Tetapi ketentuan
tentang ini yang sudah dimuat dengan tegas di dalam UU tentang KY dibatalkan
oleh putusan MK yang menyatakan bahwa hakim dalam pengertian pasal 24B UUD 1945
tidak mencakup hakim konstitusi .... Putusan MK tentang cakupan pengertian
hakim ini, sesuai dengan ketentuan pasal 24C UUD 1945, bersifat final dan
mengikat sehingga tidak bisa dimasukkan lagi dalam UU tentang KY yang baru
nanti. Satu-satunya jalan untuk mengembalikan masalah ini ke garis politik
hukum yang benar hanyalah melalui perubahan konstitusi yang harus menegaskan
tentang itu secara eksplisit; sebab kita tidak bisa membiarkan MK dan
hakim-hakimnya menjadi lembaga super yang tak bisa diawasi.”[46]
Mengacu pada
penegasan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dalam hal pengaturan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman yang diatur dengan Undang-Undang. Hal ini juga menandakan
bahwa ada mekanisme checks and balances antara lembaga yudikatif dengan
legislatif. Ketentuan ini berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang membuka
ruang partisipasi rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR untuk memperjuangkan
agar aspirasi dan kepentingannya diakomodir dalam pembentukan Undang-Undang tersebut.[47]
3. Mekanisme Checks And
Balances Antara Eksekutif Dengan Yudikatif
Untuk hubungan
antara eksekutif dengan yudikatif mekanisme checks and balances juga
dapat dilihat dalam hal pemberian grasi dan rehabilitasi oleh Presiden yang
mempertimbangkan pertimbangan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud oleh Pasal 14
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam struktur
MPR pasca perubahan UUD 1945 juga terdapat mekanisme checks and balances,
karena berdasar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 MPR terdiri dari anggota-anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih
melalui pemilihan umum. Dengan adanya perubahan mengenai susunan MPR ini
dimaksudkan untuk mengoptimalkan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang seluruh
anggota MPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Ketentuan ini sesuai
dengan prinsip demokrasi perwakilan yaitu “perwakilan atas dasar pemilihan” (representatiton
by election).[48]
Makanisme ini juga diciptakan dengan keberadaan BPK sebagai lembaga yang bebas
dan mendiri untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara
seperti yang diamanatkan dalam Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
D. PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas menjadi nyata bahwa
globalisasi pendidikan hukum menjadi salah satu aspek yang mempengaruhi
perubahan UUD 1945. Tentunya dalam pembahasan yang telah diuraikan tersebut
diberikan batasan bahwa aspek globalisasi pendidikan hukum mempengaruhi
masuknya gagasan checks and balances dalam UUD 1945 hasil perubahan.
Gagasan untuk membagi kekuasaan agar terjadi
mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi antar lembaga negara tersebut tidak
muncul dalam UUD 1945 karya para pendiri bangsa karena gagasan tersebut
dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan ketika itu. Adanya pemikiran yang
demikian mudahlah dipahami akibat adanya pengaruh pemikiran hukum dan sistem
hukum yang ditinggalkan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pergeseran
pemikiran tersebut terjadi pada saat perubahan UUD 1945 Tahun 1999-2002.
Adanya perubahan pemikiran dimaksud disebabkan oleh
adanya globalisasi pendidikan hukum sebagai salah satu variabelnya.
Bagaimanapun para anggota MPR Periode 1999-2004 hidup dalam suasana pendidikan
yang jauh berbeda dari para pendiri bangsa. Mereka hidup tidak lagi dalam
nuansa kolonial yang memungkinkan mendapat informasi yang lebih luas dari zaman
sebelumnya. Dalam suasana tersebut, banyak gagasan-gagasan baru, termasuk
gagasan lama yang telah berkembang mengikuti cepatnya arus globalisasi yang
juga merambah dalam dunia pendidikan hukum.
Perubahan pemahaman tersebut dengan gamblang dapat
dilihat misalnya dari banyaknya buku-buku asing yang diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia sebagai buku rujukan dalam perkuliahan para wakil rakyat itu
ketika dahulu berkuliah. Buku-buku dimaksud tentu tidak hanya buku-buku dengan
pengarang yang berasal dari negeri Belanda, namun juga dari belahan dunia lain
yang tentu mempunyai tradisi yang berbeda dari negeri Belanda. Percepatan
pergeseran pemahaman tersebut juga terjadi akibat banyaknya anggota MPR perubah
UUD 1945 yang merupakan alumnus dari perguruan tinggi asing non Belanda. Tentu
efek globalisasi pendidikan hukum tersebut memberikan imbas terhadap proses
perubahan UUD 1945 yang kemudian menganut mekanisme checks and balances
di dalamnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku:
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana
Prenada Media, Jakarta, 2010
Asshiddiqie,
Jimly, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia Press, Yogyakarta, 2004
-------, Pokok-Pokok
Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta,
2007
Dimyati, Khudzaifah, Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan
Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010
Friedman, Lawrence M., Hukum Amerika: Sebuah Pengantar,
terjemahan Wishnu Basuki, Tatanusa, Jakarta, 2001
Hartono, Sunaryati, Politik Hukum menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung,
1991
Indrayana,
Denny, Perubahan UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan, Bandung, 2007
Mahfud MD, Mohammad, Perdebatan Hukum
Tata Negara: Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2007.
Manan, Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005
MPR RI,
Sekretariat Jenderal, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat, Sekretariat Jenderal MPR RI,
Jakarta, 2008
Rachman, Saiful, et al, (ed), Bunga
Rampai Komisi Yudisial Dan Reformasi Peradilan, Komisi Yudisial Republik
Indonesia, Jakarta, 2007.
Rahardjo, Satjipto, Biarkan Hukum
Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Kompas Media Nusantara, Jakarta,
2008
Toffler, Alvin, Gelombang Ketiga (Bagian Kedua), terjemahan Sri Koesdiyatinah,
Pantja Simpati, Jakarta, 1990
-------, Kejutan Masa Depan, terjemahan Sri Koesdiyatinah, Pantja Simpati,
Jakarta, 1992
-------, Pergeseran Kekuasaan (Bagian Kedua), terjemahan Hermawan Sulistyo,
Pantja Simpati, Jakarta, 1992
Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum
Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di
Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995
Jurnal
dan Makalah:
Asshiddiqie, Jimly, Hubungan Antar
Lembaga Negara Dalam Perspektif Perubahan UUD 1945, Makalah untuk Seminar
Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, 29-31 Mei
2006
Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 3,
September, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2009
Jurnal Negarawan Nomor 7, Februari,
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 2008
Mahfud MD, Mohammad, Politik Hukum
Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, Makalah untuk Seminar Arah
Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, 29-31 Mei 2006.
Mertosuwignyo, Sri Soemantri, Kapabilitas
Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Menjalankan Mekanisme “Check And Balances” Dalam
Hubungan Antara Eksekutif Dan Legislatif, Makalah untuk Seminar Arah
Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, 29-31 Mei 2006
Sunny, Ismail, Amandemen UUD 1945 Dan
Implikasinya Terhadap Arah Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional, Makalah
untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen,
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia,
Jakarta, 29-31 Mei 2006
[1]
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan
Manusia dan Hukum (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008), hlm. 7-8.
[3] Lawrence M. Friedman, Hukum
Amerika: Sebuah Pengantar, terjemahan Wishnu
Basuki (Jakarta: Tatanusa, 2001), hlm. 365.
[4]
Dalam tulisan ini, nomenklatur UUD 1945 digunakan untuk undang-undang dasar
sebelum perubahan dan ketika undang-undang dasar tersebut sedang dilakukan
perubahan. Sedangkan nomenklatur Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 digunakan untuk undang-undang dasar setelah perubahan. Pengecualian
terjadi dalam hal penggunaan kutipan langsung, sehingga menggunakan frasa asli
sebagaimana ditulis oleh penulis terkait.
[5]
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam
UUD 1945 (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press,
2004), hlm. 65.
[6]
Menurut Ismail Sunny penamaan perubahan (bukan penggantian Undang-Undang Dasar)
masih dapat dipersoalkan. Sebab meskipun nama yang dipakai masih tetap UUD
1945, tetapi dari materi muatan UUD 1945 pasca perubahan saat ini dapat
dikatakan merupakan konstitusi baru sama sekali. [Ismail Sunny, Amandemen
UUD 1945 Dan Implikasinya Terhadap Arah Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional, dalam Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD
1945 Hasil Amandemen (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006), hlm. 1-2.]
[7]
Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat
(Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008), hlm. 5.
[8] Yang menjadi pertimbangan untuk mengganti UUD 1945 dengan UUD yang sama
sekali baru adalah pada kesimpulan bahwa hal ini akan membawa konsekuensi
politik yang amat mahal, Negara dalam keadaan rapuh. Menyusun UUD baru dalam
keadaan seperti itu, yang berarti menyusun kembali kontrak politik antar warga,
merancang ulang desain dan konstruksi Negara, amat tidak bijaksana dan bukan
tidak mungkin akan mengakhiri eksistensi NKRI yang diproklamasikan pada 17
Agustus 1945. [Jakob Tobing, “Perubahan UUD 1945 dan Reformasi” Jurnal
Negarawan, Nomor 7 (Februari, 2008), hlm. 71.]
[9] Yang menjadi pertimbangan untuk mempertahankan Pembukaan
UUD 1945 adalah karena pembukaan UUD 1945 mengandung nilai-nilai pokok
Pancasila, sebagai saripati perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia sejak lama
sekaligus merupakan tujuan dan cita-cita kemerdekaan. [Ibid, hlm. 72.]
[10] Yang menjadi pertimbangan untuk mempertahankan UUD 1945 seperti aslinya
adalah bahwa hal ini akan mengulangi sejarah orde lama dan orde baru. Secara
tidak langsung Jakob Tobing mengatakan bahwa sistem pemerintahan menurut UUD
1945 sebelum perubahan adalah tidak efektif. Pada zamannya hanya kebesaran Bung
Karno yang memungkinkan beliau tetap lama memimpin. Sekalipun pada waktu beliau
sakit kekuatan-kekuatan disekitarnya khususnya antara ABRI dan PKI berlomba
untuk tidak di-fait accompli, untuk tidak didahului. Semuanya tragis
dalam peristiwa gestok. Pemerintahan Bung Karno itupun sebetulnya tidak efektif
karena harus tetap menjaga keseimbangan di antara partai-partai politik yang
bertolak belakang secara ideologis. Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa sistem MPR
menurut UUD 1945 sebelum perubahan hanya akan efektif bila ada partai tunggal
atau partai dominan ala golkar, di mana Presiden adalah pemimpin dari kekuatan
itu seperti yang dilakukan pada era orde baru. [Ibid, hlm. 72.]
[11]
Sekretariat Jenderal MPR RI, op.cit., hlm. 6.
[12]
Denny Indrayana, Perubahan UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran
(Bandung: Mizan, 2007), hlm. 155.
[13] Ibid,
hlm. 275.
[14] Ibid,
hlm. 274-275.
[15]
Sekretariat Jenderal MPR RI, op.cit., hlm. 50.
[16]
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi
(Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 317. Menurut Sri Soemantri
Mertosuwignyo sebelum diubah, UUD 1945 juga menganut ciri-ciri sistem
pemerintahan parlementer. [Sri Soemantri Mertosuwignyo, Kapabilitas Dewan
Perwakilan Rakyat Dalam Menjalankan Mekanisme “Check And Balances” Dalam
Hubungan Antara Eksekutif Dan Legislatif, dalam Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD
1945 Hasil Amandemen (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006), hlm. 5.] Ia menambahkan bahwa sistem
pemerintahan presidensil untuk pertama kali dianut dan dilaksanakan di Amerika
Serikat. Itulah sebabnya sistem pemerintahan ini oleh Maurice Duverger diberi
nama sistem pemerintahan pola Amerika Serikat. Dalam kepustakaan Inggris oleh
SL. Witman dan JJ. Wuest sistem pemerintahan ini juga disebut Presidential
Government dan oleh CF. Strong disebut sebagai the fixed excecutive.
[Ibid, hlm. 3.]
[17]
Sekretariat Jenderal MPR RI, op.cit., 13.
[18]
Kesepakatan ini dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul
memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensil. Penyempurnaan dilakukan dengan
perubahan kedudukan MPR yang mengakibatkan kedudukan MPR tidak lagi sebagai
lembaga tertinggi negara. Perubahan selanjutnya untuk menyempurnakan sistem
presidensil adalah menyeimbangkan legitimasi dan kedudukan antara lembaga
eksekutif dan legislatif, dalam hal ini terutama antara DPR dan Prsiden. [Jimly
Asshiddiqie, Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Perspektif Perubahan UUD
1945, dalam Makalah untuk Seminar
Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen (Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006),
hlm. 4.]
[19]
Abdul Latif, “Pilpres dalam Perspektif Koali si Multipartai” Jurnal
Konstitusi, Volume 6 Nomor 3 (September, 2009), hlm. 28.
[20]
Sunaryati Hartono, Politik Hukum menuju
Satu Sistem Hukum Nasional (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 66.
[21] Ibid., hlm. 67.
[22]
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal
Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence): Termasuk Interpretasi
Undang-Undang (Legisprudence) (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), hlm.
184-185.
[23]
Alvin Toffler, Pergeseran Kekuasaan
(Bagian Kedua), terjemahan Hermawan Sulistyo (Jakarta: Pantja Simpati,
1992), hlm. 94.
[24]
Istilah ini pertama kali diperkenalkan Alvin Toffler Tahun 1965 dalam sebuah
artikel untuk melukiskan tekanan dan disorientasi hebat yang dialami oleh
manusia jika terlampau banyak dibebani perubahan dalam waktu yang terlampau
singkat. [Alvin Toffler, Kejutan Masa
Depan, terjemahan Sri Koesdiyatinah (Jakarta: Pantja Simpati, 1992), hlm.
10.]
[25] Ibid., hlm. 355.
[26] Ibid., hlm. 356.
[27]
Dalam hal ini kebutuhan untuk mencetak manusia industrial telah kehilangan
relevansinya, sebab Toffler membagi kurun peradaban manusia menjadi tiga
bagian, yaitu gelombang pertama yang agrikultural, gelombang kedua sebagai
tahapan industrial dan gelombang ketiga yaitu tahap yang sekarang telah
dimulai. [Alvin Toffler, Gelombang Ketiga
(Bagian Kedua), terjemahan Sri Koesdiyatinah (Jakarta: Pantja Simpati,
1990), hlm. xix.]
[28]
Abdul Manan, Op.cit., hlm. 141.
[29]
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum:
Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990 (Yogyakarta:
Genta Publishing, 2010), hlm. 222.
[30]
Sebagai implikasinya, perkembangan hukum Indonesia pada tahun-tahun pertama
kemerdekaannya dalam praktiknya hanyalah merupakan kelanjutan dari apa yang
telah dipraktikkan pada masa-masa sebelumnya. [Ibid.]
[31]
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika
Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995), hlm. 188-189.
[32] Ibid., hlm. 234.
[33]
Sunaryati Hartono, Op.cit., hlm. 55.
[34] Ibid., hlm. 74-75.
[35]
Vide Pasal 5 ayat (1) UUD 1945.
[36]
Sekretariat Jenderal MPR RI, op.cit., hlm. 53.
[37] Sri
Soemantri Mertosuwignyo, op.cit., hlm. 10.
[38]
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara...., op.cit., hlm. 188.
[39]
Sekretariat Jenderal MPR RI, op.cit., hlm. 73.
[40] Ibid,
hlm. 97.
[41]
Mohammad Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara: Pasca Perubahan Konstitusi
(Jakarta: LP3ES, 2007), hlm. 73.
[42]
Mohammad Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional,
dalam Makalah untuk Seminar Arah
Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen (Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006),
hlm. 27.
[43]
Menurut penegasan Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Komisi Yudisial selain berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung juga mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim.
[44]
Sekretariat Jenderal MPR RI, op.cit., hlm. 104.
[45]
Mohammad Mahfud MD, Komisi Yudisial Dalam Mosaik Ketatanegaraan Kita,
dalam Saiful Rachman, et al, (editor), Bunga Rampai Komisi Yudisial Dan
Reformasi Peradilan (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007),
hlm. 1.
[46] Ibid,
hlm. 17-18.
[47]
Sekretariat Jenderal MPR RI, op.cit., hlm. 102.
[48] Ibid,
hlm. 49.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar