Oleh: Andy Wiyanto
A. Pendahuluan
Pembaharuan hukum tata Negara sebagai refleksi atas
kebutuhan dalam hukum tata Negara yang dinamis menjadi suatu keniscayaan.
Urgensi pembaharuan hukum tata Negara menjadi nyata ada dalam studi mahasiswa
hukum strata dua yang memang direncanakan lulusannya sebagai arsitek dalam
Negara hukum Indonesia. Sebagai sebuah studi, Pembaharuan Hukum Tata Negara
telah berhasil mendobrak kemapanan yang seakan ada dalam Hukum Tata Negara
Indonesia, berdasarkan studi sebelumnya pada tingkat strata satu. Upaya pembentukan
paradigma baru ini bukan tanpa sebab; meminjam istilah Rantawan Djanim dalam perkuliahan,
para Sarjana Hukum khususnya di Indonesia memang didesain sebagai seorang
“tukang hukum”.
Di Indonesia,
sebagaimana dikatakan oleh Syaiful Bakhri telah menerapkan, memaknai dan
melaksanakan berbagai pranata Negara hukum modern yang muncul di berbagai
belahan dunia. Pertemuan model hukum common
law dan civil law, serta hukum
tradisional dan agama telah berkembang dan saling mempengaruhi Negara Hukum
Indonesia.[1]
Kompleksitas dalam Negara Hukum Indonesia tersebut menjadi linear dengan
urgensi dalam pembaharuan Hukum Tata Negara Indonesia.
Tulisan sederhana ini mencoba untuk menjawab tantangan
tersebut, utamanya terkait dengan pembagian kekuasaan dalam pembentukan
undang-undang setelah perubahan UUD 1945. Dalam tulisan ini akan dibagi menjadi
empat bagian. Pertama, bagian
pendahuluan yang menguraikan mengenai latar belakang berupa perubahan UUD 1945
sebagai pergeseran paradigma hubungan antar lembaga negara di Indonesia. Kemudian
dilanjutkan dengan ulasan singkat mengenai konsep pembagian kekuasaan dalam
negara hukum. Bagian pertama ini kemudian ditutup dengan uraian tentang
pembagian kekuasaan dalam pembentukan undang-undang sebelum perubahan UUD 1945.
Kedua, bagian pembahasan yang
bertajuk pergeseran pembagian kekuasaan dalam pembentukan undang-undang setelah
perubahan UUD 1945. Pada bagian ini menggambarkan proses pembentukan
undang-undang setelah perubahan UUD 1945, yang memindahkan kekuasaan dari
eksekutif kepada legislatif (baca: DPR). Ketiga,
bagian analisis yang memuat kritik atas kekuasaan pembentukan undang-undang
setelah perubahan UUD 1945. Keempat,
bagian penutup yang berisi kesimpulan dan saran sebagai muara dalam menjawab
tantangan kebutuhan akan pembaharuan Hukum Tata Negara Indonesia terkait dengan
pembagian kekuasaan dalam pembentukan undang-undang di Indonesia.
1.
Perubahan UUD 1945: Upaya Menyusun Konstitusi yang Lebih
Sempurna
UUD 1945 merupakan salah satu konstitusi yang paling
singkat dan sederhana di dunia. Dengan konstitusi yang singkat dan sederhana
itu harus diatur lima unsur, yaitu kekuasaan Negara, hak rakyat, kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif.[2]
Kelemahan UUD 1945 dapat diketahui antara lain; pertama, UUD 1945 memberikan kekuasaan eksekutif terlalu besar
tanpa disertai oleh prinsip checks and
balances yang memadai; kedua,
rumusan ketentuan UUD 1945 banyak yang menimbulkan multitafsir[3]; ketiga, unsur-unsur konstitusionalisme
tidak dielaborasi secara memadai dalam UUD 1945; keempat, UUD 1945 terlalu menekankan pada semangat penyelenggara
Negara; kelima, UUD 1945 memberi
atribusi kewenangan yang terlampau besar kepada Presiden untuk mengatur berbagai
hal yang penting dengan undang-undang; keenam,
banyak materi muatan UUD 1945 yang penting tetapi justru diatur dalam
Penjelasan; ketujuh, status dan
materi Penjelasan UUD 1945 yang tidak diatur dalam pasal-pasal UUD 1945.[4]
Alih-alih menjalankan UUD 1945 secara murni dan konsekuen[5]
dengan kelebihan dan kekurangannya di dalamnya, Orde Baru justru menambah deretan
panjang pemerintahan otoriter di Indonesia. Dalam hal ini, Moh. Mahfud MD
menilai bahwa suber utamanya karena UUD 1945 sendiri, yang selalu lahirkan
pemerintahan otoriter. “Bahwa UUD 1945 tidak pernah menghadirkan Pemerintahan
yang demokratis dapat kita lihat dari sejarah (periodisasi) berlakunya UUD 1945
yang secara garis besar dibagi atas tiga periode yaitu periode 1945-1949,
periode 1959-1966, dan periode 1966 sampai 1998.”[6]
Dalam teori dan torehan sejarah yang demikian, prinsip checks and balances sebagai mekanisme pembatasan kekuasaan dalam
Negara hukum menjadi tumpul. Hingga kemudian upaya untuk memperbaiki UUD 1945
baru muncul pasca reformasi tahun 1998. A.M. Fatwa yang terlibat langsung dalam
proses perubahan UUD 1945 menangkap sebab reformasi konstitusi sebagai berikut:
“Salah satu latar
belakangnya adalah karena konstitusi ini kurang memenuhi aspirasi demokrasi,
termasuk dalam meningkatkan kemampuan untuk mewadahi pluralisme dan mengelola
konflik yang timbul karenanya. Lemahnya checks
and balances antarlembaga negara, antarpusat-daerah, ataupun antara negara
dan masyarakat mengakibatkan mudahnya muncul kekuasaan yang sentralistik, yang
melahirkan ketidakadilan.”[7]
Reformasi
konstitusi Indonesia Tahun 1999-2002 diawali oleh sebuah Sidang Istimewa MPR
pada November 1998. Sidang ini menghasilkan dua belas Tap MPR yang salah
satunya adalah Tap MPR No. VIII Tahun 1998 tentang Pencabutan Tap MPR No. IV
Tahun 1983 tentang Referendum. Karena keberadaan Tap MPR tersebut hanya
dijadikan sebagai sarana bagi pemerintah Orde Baru untuk mempertahankan UUD
1945, yang secara substantif sebenarnya merupakan pengebirian terhadap MPR.[8]
Dengan dicabutnya
Tap itu Undang-Undang No. 5 Tahun 1995 tentang Referendum dengan sendirinya
juga ikut gugur. Berdasarkan politik hukum tersebut secara resmi telah
menghapus kebijakan Orde Baru yang mencegah terjadinya perubahan terhadap UUD
1945. Dengan demikian prosedur perubahan UUD 1945 kembali menjadi lebih
sederhana. Hal ini sebagaimana dimaksud Pasal 37 UUD 1945 yang menyatakan bahwa
quorum peserta yang hadir untuk dapat melakukan perubahan UUD 1945 minimum dua
per tiga dari total jumlah anggota MPR, dan untuk putusan perubahan UUD 1945
dibutuhkan persetujuan dua per tiga dari jumlah peserta yang hadir.[9]
Setelah perubahan,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak lagi menempatkan
MPR sebagai lembaga tertinggi[10]
Negara. Kekuasaan Negara didistribusikan langsung pada tiap-tiap lembaga Negara
dengan harapan akan menciptakan mekanisme checks
and balances yang lebih sempurna dari pada ketentuan UUD 1945.[11]
Konsekuensi logis dari perubahan UUD 1945 dengan tidak adanya lagi lembaga
tertinggi negara adalah bahwa setiap lembaga tinggi negara memiliki kedudukan
yang sama tinggi dengan kewenangannya masing-masing. Dengan kewenangannya itu
terjadi mekanisme check and balances pada tiap-tiap lembaga negara.
Mekanisme check and balances
dimaksudkan agar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia terjadi pembatasan
kekuasaan pada setiap lembaga negara, semua berjalan berdasar fungsinya
masing-masing yang saling mengimbangi dan mengawasi.
2.
Pembagian Kekuasaan: Sebuah Konsep dalam Negara Hukum
Konsep Negara Hukum
tidak akan lepas dari sejarah ketatanegaraan pemerintahan-pemerintahan di
berbagai macam belahan dunia, yang mana hal ini turut menentukan hingga
akhirnya konsep Negara Hukum menjadi populer hingga saat ini. Jika kita tarik
ke belakang, hingga abad ke-18 seringkali pemerintahan dalam suatu negara bersifat
despotis. Oleh karena itu seorang pemikir besar mengenai negara dan hukum dari
Perancis bernama Charles de Secondat baron de Labrede et de Montesquieu
memisahkan kekuasaan negara secara tegas menjadi tiga, yaitu kekuasaan
perundang-undangan, kekuasaan melaksanakan pemerintahan, dan kekuasaan
kehakiman. Kemudian masing-masing dari cabang kekuasaan tersebut dipegang oleh
badan yang berdiri sendiri, ini akan menghilangkan kemungkinan timbulnya
tindakan yang sewenang-wenang dari seorang penguasa, atau tegasnya tidak
memberikan kemungkinan dilaksanakannya sistem pemerintahan absolutisme.[12]
Pembagian
kekuasaan-kekuasaan itu kedalam tiga pusat kekuasaan oleh Immanuel Kant kemudian diberi nama Trias Politika (Tri =
tiga; As = poros (pusat); Politika = kekuasaan) atau tiga Pusat/Poros Kekuasaan
Negara.[13]
Ajaran Trias politica ini sesungguhnya merupakan penyempurnaan dari
ajaran John Locke. Menurut John Locke, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu
meliputi fungsi legislatif, fungsi eksekutif, dan fungsi federatif.[14]
Dalam kuliah Ilmu Negara pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat
Universitas Indonesia tahun ajaran 1961-1962, Padmo Wahjono membandingkan
keduanya sebagai berikut:
“Fungsi pengadilan dalam ajaran John Locke dimasukkan
dalam bidang Exekutif, sebab Pengadilan itu adalah melaksanakan hukum. Jadi dalam hal adanya perselisihan, maka itu menjadi
wewenang daripada fungsi Exekutif! Tapi Montesquieu mengeluarkannya dari
Exekutif karena Montesquieu melihat kedalam di Perancis dengan adanya
penggabungan itu timbul kesewenang-wenangan. Oleh karena itu harus dipisahkan
agar supaya jangan timbul ketidakadilan.!
Disini terletak perbedaan peninjauan fungsi Yudikatif
antara Montesquieu dengan John Locke.
John Locke melihat secara prinsipel yaitu sebagai
pelaksanaan hukum. Dilihat hasilnya untuk keadilan, maka fungsi judikatif
itu dikeluarkan dari bidang Exekutif oleh Montesquieu. Dan ajaran
Montesquieu lebih populer daripada John Locke. Hanya kemudian, dimanakah disalurkan
wewenang Diplomasi dalam Trias Montesquieu? Dan ini oleh Montesquieu dimasukkan
dalam fungsi legislatif, oleh karena hubungan Diplomasi menciptakan
ketentuan-ketentuan yang berlaku buat negara itu dengan negara lain.! Jadi
dimasukkan dalam bidang Legislatif karena membuat peraturan-peraturan.”[15]
3.
Pembagian Kekuasaan Pembentukan Undang-Undang: Sebelum
Perubahan UUD 1945
Kekuasaan dalam hal
pembentukan undang-undang sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945,
berdasarkan ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 dan Penjelasan terdapat dua
perkataan yang perlu untuk dibahas terlebih dahulu. Pertama, makna dari kekuasaan pembentukan undang-undang yang
berada pada Presiden. Kedua, menyangkut makna dari kata bersama-sama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dalam
melaksanakan kekuasaan legislatif, seperti yang ditegaskan Penjelasan UUD 1945.
Menurut Sri
Soemantri, dari ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dapat ditafsirkan bahwa inisiatif
merancang undang-undang berasal dari Presiden.[16] Pendapat
yang sama juga dikemukakan oleh M. Solly Lubis.[17]
Menurutnya selain memperlihatkan inisiatif untuk merancang undang-undang,
substansi Pasal 5 ayat (1) juga menggambarkan kedudukan Presiden dan DPR dalam
pembentukan undang-undang. Kedudukan DPR, tidaklah di atas Presiden atau di
bawah Presiden, tetapi sejajar untuk bekerja sama dalam pembentukan
undang-undang. Perihal kekuasaan pembentukan undang-undang tersebut Jimly
Asshiddiqie merasionalisasikan bahwa:
“ .... pemerintahlah yang sesungguhnya paling banyak
mengetahui mengenai kebutuhan untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan,
karena birokrasi pemerintah paling banyak menguasai informasi dan expertise
yang diperlukan untuk itu. .... Karena itu, dalam kaitannya dengan pengaturan
soal ini menurut UUD 1945, sebenarnya, ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang lama
dapat dikatakan sudah tepat, tinggal lagi meningkatkan fungsi kontrol DPR
terhadap pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.”[18]
Menyangkut
persoalan kedua, yakni makna bersama-sama dalam menjalankan kekuasaan
legislatif, dijelaskan Maria Farida Indrati Soeprapto yang mengutip pendapat
Attamimi sebagai berikut:
“ …. bahwa perkataan bersama-sama dalam bahasa
Indonesia berarti berbarengan dengan atau serentak, sehingga dengan
demikian berarti bahwa Presiden dalam menjalankan legislative power, yakni
dalam hal pembentukan Undang-undang, Presidenlah yang melaksanakan kekuasaan
pembentukannya, sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat melaksanakan (pemberian)
persetujuannya dengan berbarengan, serentak bersama-sama. Dengan demikian,
menjadi jelas kewenangan pembentukan Undang-undang tetap pada Presiden; dan
kewenangan pemberian persetujuan tetap pada Dewan Perwakilan Rakyat. Agar
Undang-undang itu dapat terbentuk, kedua wewenang tersebut dilaksanakan
bersama-sama, berbarengan, serentak.”[19]
Pendapat Attamimi
tersebut sudah tepat bila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD
1945 yang menegaskan bahwa Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian dalam ayat (2) disebutkan bahwa Jika suatu
rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,
maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan
Perwakilan Rakyat masa itu.
Bila diperhatikan
dari substansi Pasal tersebut, terlihat bahwa persetujuan DPR sangat penting
agar rancangan undang-undang dapat menjadi undang-undang. Begitu pula dalam
Pasal berikutnya, di samping memberikan hak kepada Anggota DPR untuk mengajukan
rancangan undang-undang, juga mengatur tentang hak tolak Presiden sebagaimana
yang ditegaskan Pasal 21 ayat (2) yang mengatakan Jika rancangan itu, meskipun
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka
rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan
Rakyat masa itu.
Ketentuan Pasal 20
ayat (2) dan 21 ayat (2) sepintas memperlihatkan adanya checks and balances antara
DPR dan Presiden. Kedua lembaga ini, sama-sama dapat menolak memberikan persetujuan
atas rancangan undang-undang. DPR dapat menolak rancangan undang-undang dari
Presiden dan Presiden pun dapat menolak rancangan undang-undang yang diajukan
DPR. Namun menurut Dahlan Thaib tidak ada perimbangan kekuasaan antara Presiden
dengan DPR. Dari segi praktik dalam pengajuan rancangan undang-undang, ada
gejala Presiden dalam kedudukannya sebagai legislative partner lebih
menonjol. Dominasi Presiden
dibandingkan DPR, disebabkan alasan-alasan sebagai berikut:[20]
a.
DPR
memerlukan waktu yang lama untuk mengajukan rancangan undang-undang kepada
Presiden;
b.
DPR
mewakili berbagai kepentingan, sehingga lebih heterogen daripada Pemerintah;
c.
Pemerintah
lebih ahli dan berpengalaman dibandingkan DPR;
d.
Khusus
terhadap rancangan APBN, DPR berada dalam posisi lemah. Di samping sempitnya
waktu dalam pembahasan, juga disangsikan keahlian Anggota DPR dalam memberikan
tanggapan terhadap rancangan APBN itu; dan
e.
Kedudukan
Pemerintah yang tidak tergantung kepada vertrounwensyvotum (kepercayaan) dari DPR.
B. Pergeseran
Pembagian Kekuasaan dalam Pembentukan Undang-Undang setelah Perubahan UUD 1945
Setelah Perubahan UUD 1945, terlihat telah terjadi pergeseran
pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Pergeseran ini terjadi dalam
perubahan UUD 1945 yang menempatkan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk
undang-undang. Penempatan tersebut ditegaskan dalam Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945
yang menegaskan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Pergeseran kekuasaan pembentukan undang-undang itu dapat
dibaca dengan adanya perubahan radikal Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 yang
sebelumnya dirumuskan bahwa Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR; diubah
menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.
Akibat dari pergeseran itu, hilangnya dominanasi presiden dalam proses
pembentukan undang-undang. Perubahan ini penting artinya karena undang-undang
adalah produk hukum yang paling dominan untuk menerjemahkan rumusan-rumusan
normatif yang terdapat dalam UUD 1945.
Kemudian perubahan Pasal 5 ayat (1) diikuti dengan
perubahan Pasal 20 UUD 1945 menjadi “(1) DPR mempunyai kekuasaan membentuk
undang-undang: (2) setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden
untuk mendapat persetujuan bersama: (3) jika rancangan undang-undang tidak
mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan
lagi dalam persidangan DPR masa itu: (4) presiden mengesahkan rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang: (5)
dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari sejak rancangan
undang-undang itu disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi
undang-undang dan wajib diundangkan.”14
Selanjutnya dalam perubahan kedua UUD 1945 juga
memunculkan ketentuan baru yang semakin memperkokoh posisi DPR. Ketentuan itu
dirumuskan dalam Pasal 20A UUD 1945, yaitu “(1) DPR memiliki fungsi legislasi,
fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan; (2) Dalam melaksanakan fungsinya,
selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, DPR mempunyai hak
interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat; (3) Selain hak yang diatur
dalam pasal-pasal lain UUD ini, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas; dan (4)
Ketentuan lebih lanjut tentang hak DPR dan hak anggota DPR diatur dalam
undang-undang.”
Khusus mengenai rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah; dapat diajukan
oleh DPD kepada DPR dan DPD juga memiliki kekuasaan untuk ikut membahas
rancangan undang-undang tersebut. Kemudian setelah rancangan undang-undang itu
disahkan, DPD juga memiliki kekuasaan untuk melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang tersebut.
Kekuasaan untuk mengajukan, ikut membahas dan mengawasi
dimaksud tertuang dalam Pasal 22D Ayat (1), (2) dan (3). Dalam pasal 22D Ayat
(2) juga disebutkan bahwa DPD memiliki kekuasaan untuk memberikan pertimbangan
kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara
dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Dengan norma dasar
setelah perubahan tersebut, prinsip checks
and balances sebagai ekses dari adanya pembagian kekuasaan antara Presiden
dan DPR masih terlihat dalam pembentukan undang-undang, bahkan melebihi
kekuasaan eksekutif berdasarkan teori Montesquieu. Sekalipun pendulum kekuasaan
pembentukan undang-undang telah digeser menjadi kewenangan yang dimiliki DPR,
menurut pertimbangan Saldi Isra pendapat tersebut hanya dapat dibenarkan dari
perubahan bunyi teks yang terdapat dalam UUD 1945 hasil perubahan. Namun jika
diletakkan dalam pengertian legislation
is an aggregate, not a simple production, tidak tepat mengatakan bahwa
kekuasaan membentuk undang-undang sepenuhnya ada pada DPR atau Presiden bukan
lagi pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang. Karena presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, Presiden tetap menjadi bagian
dari proses legislasi.[21]
Lebih jelasnya, perubahan ini menunjukkan bahwa kedudukan Presiden dalam
membentuk undang-undang tidak lagi pada posisi yang dominan seperti pada masa
lalu.[22]
C. Kritik
atas Pembagian Kekuasaan dalam Pembentukan Undang-Undang
Bila
ditelisik, Pasal 20A Ayat (1) yang menyatakan bahwa DPR memiliki fungsi
legislasi, fungsi anggaran dan pengawasan, tidak hanya
berakibat pada pelemahan fungsi legislasi Presiden tetapi memunculkan
superioritas fungsi legislasi DPR terhadap DPD. Oleh karena itu ruang untuk
dapat mengajukan dan membahas rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah sebagaimana
dimaksud Pasal 22 D ayat (1)
dan (2) tidak cukup untuk mengatakan bahwa DPD mempunyai fungsi legislasi.
Bagaimanapun fungsi legilasi harus di lihat secara utuh yaitu dimulai dari
proses pengajuan sampai menyetujui sebuah rancangan Undang-undang. Sebagaimana dikatakan Jimliy Asshiddiqie bahwa fungsi
legislasi mencakup kegiatan mengkaji, merancang, membahas dan mengesahkan
Undang-undang.[23] Perubahan Pasal 20 Ayat (1) dan kehadiran Pasal 20A Ayat
(1) memberi garis demarkasi yang tegas bahwa kekuasaan membuat Undang-undang seakan hanya
menjadi monopoli DPR.
Dengan kekuasaan
legislasi DPD yang
minimalis, DPD tidak
memiliki posisi tawar yang kuat dalam menentukan arah legislasi Indonesia. Substansi keterwakilan daerah
melalui DPD adalah akomodasi kepentingan daerah yang dijamin secara
konstitusional dan dijabarkan dengan peraturan perundang-undangan. Aspek struktural-fungsional ini cukup layak untuk mendapat kritik, karena DPD tidak mempunyai otoritas pembuatan peraturan
perundang-undangan yang
berimbang. Beberapa anggota
Dewan dan Majelis mengistilahkan realitas ini sebagai “keterwakilan setengah hati”.[24]
Kekuasaan
pembentukan undang-undang DPD sebaiknya dikuatkan, agar fungsinya sebagai
penyeimbang DPR dapat dilaksanakan dengan lebih efektif. Terlebih pemilihan
anggota DPD yang secara langsung melalui sistem perwakilan provinsi sehingga
harus diselaraskan dengan kewenangannya yang lebih kuat. Fungsi pertimbangan
yang saat ini melekat kepada DPD, dalam hal-hal yang berkaitan dengan daerah,
sebaiknya ditingkatkan. Misalnya, dalam proses legislasi, DPD tidak hanya
terbatas memberikan pertimbangan, tetapi turut mempunyai hak suara untuk
menentukan lolos tidaknya RUU. Sehingga, sistem parlemen Indonesia kedepan
sebaiknya mengarah pada sistem parlemen bikameral yang efektif.[25]
Dari hasil telaah
sejumlah konstitusi (baik dengan sistem pemerintahan presidensial dan
pemerintahan parlementer, maupun dengan sistem satu kamar dan sistem dua kamar
di negara kesatuan maupun federal) membuktikan bahwa presiden masih dapat
mengajukan rancangan undang-undang, namun keikusertaan presiden dalam
pembahasan rancangan undang dengan lembaga perwakilan rakyat (parlemen) tidak
seperti di Indonesia. Pada semua negara, persetujuan menjadi hak ekskulsif
lembaga perwakilan rakyat (lembaga legislatif). Bahkan di Mauritinia, meski
inisiasi dapat berasal dari pemerintah dan parlemen, pembahasan (perdebatan)
rancangan undang-undang dilakukan oleh pemerintah (Council of Ministers), namun pesetujuan tetap menjadi hak ekslusif parlemen.[26]
Oleh karena itu,
untuk menata fungsi legislasi yang diperlukan tidak hanya terbatas pada
penguatan fungsi legislasi DPD tetapi juga dengan membatasi peran atau
keterlibatan presiden dalam fungsi legislasi. Political will yang kuat dibutuhkan untuk melakukan purifikasi
sistem presidensil. Presiden tidak lagi dilibatkan dalam proses pembahasan
rancangan undang-undang. Dengan demikian, mekanisme checks and balances dalam pembahasan rancangan undang-undang hanya
terjadi antara DPR dan DPD.
D. Penutup
1.
Kesimpulan
a.
Sebagai
upaya yang linear terhadap upaya pemurnian sistem presidensil berdasarkan
kajian teoritik pembagian kekuasaan, maka untuk membentuk undang-undang sudah
tepat bila pendulum kekuasaan berada di tangan DPR. Adanya kekuasaan Presiden
dalam pembahasan rancangan undang-undang tidak perlu dalam proses
pembahasannya. Ketentuan yang menyatakan bahwa rancangan undang-undang dibahas
oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama relatif belum sejalan
terhadap konsep pembagian kekuasaan.
b.
Pemberian
kekuasaan yang terbatas dalam pembentukan undang-undang kepada DPD telah
menghilangkan relevansinya sebagai sebuah majelis tinggi. Ketentuan undang-undang
dasar yang ada tidak menunjukkan adanya mekanisme saling mengawasi dan
mengimbangi dalam kekuasaan pembentukan undang-undang dengan sistem dua kamar
dalam parlemen. Mekanisme yang telah sejalan dengan semangat kekuasaan yang
tidak terbatas hanya tampak dalam kekuasaan pembentukan undang-undang tertentu.
Yaitu terhadap rancangan undang-undang yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2.
Saran
a.
Sebagai
bentuk imbangan atas kekuasaan pembahasan rancangan undang-undang yang berada
di tangan DPR dan DPD, dalam perubahan undang-undang dasar juga perlu kiranya
dimasukkan kekuasaan Presiden untuk mengajukan suatu rancangan undang-undang dan
adanya kekuasaan untuk menolak pengesahan rancangan undang-undang menjadi
undang-undang.
b.
Melalui
perubahan undang-undang dasar, perlu diperkuat fungsi DPD terkait dengan
kekuasaan pembentukan undang-undang. Karena dengan adanya dua majelis yang sama
kuat di Indonesia memunculkan jaminan berupa produk legislatif dapat diperiksa
dua kali (double check). Perlu
kiranya dimuat dalam undang-undang dasar mengenai rancangan undang-undang yang
dibahas untuk mendapat persetujuan bersama oleh DPR dan DPD.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan
Perundang-Undangan:
UUD 1945
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Buku:
Asshiddiqie, Jimly,
Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945,
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press, Yogyakarta, 2004.
-------. Pengantar
Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Konstitusi Press, Jakarta, 2006.
Bakhri, Syaiful, Ilmu Negara dalam Konteks Negara Hukum
Modern, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Hukum Fakultas Hukum UMJ
kerjasama dengan Total Media, Yogyakarta, 2010.
Fatwa, A.M., Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2009.
Gaffar,
Janedjri M.,
dkk, Dewan Perwakilan Daerah, Sekretariat
Jenderal MPR RI,
Jakarta,
2003.
Hamzah, Teuku Amir,
Ilmu Negara: Kuliah-Kuliah Padmo Wahjono, SH, Indo Hill Co., Jakarta,
2003.
Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
Indrayana, Denny, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan
Pembongkaran, terjemahan E. Setiyawati A., Penerbit Mizan, Bandung, 2007.
Isra, Saldi Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya
Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010.
Lubis, M. Solly, Landasan
Dan Teknik Perundang-undangan, Mandar
Maju, Bandung, 1989.
MD, Moh. Mahfud, Dasar
dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2001.
-------. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia,
PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2003.
RI,
DPD, Naskah Akademis Usulan Amandemen Komprehensif, Sekretariat
Jenderal DPD RI, Jakarta, tanpa tahun.
Rumokoy, Donald A.,
Praktik Konvensi Ketatanegaraan di
Indonesia, Media Prima Aksara, Jakarta, 2011.
Siahaan, Pataniari,
Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang
Pasca Amandemen UUD 1945, Penerbit Konpress, Jakarta, 2012.
Soehino, Ilmu
Negara, Liberty, Yogyakarta, 2004.
Soemantri, Sri, Tentang
Lembaga-Lembaga Negera Menurut UUD 1945, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
Soeprapto, Maria
Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan. Dasar-dasar Pembentukannya, Conisius, Yogyakarta, 1998.
Subekti, Valina
Singka, Menyusun Konstitusi Transisi:
Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008.
Thaib, Dahlan, DPR
Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,
Liberty, Yogyakarta, 1994.
[1]
Syaiful Bakhri, Ilmu Negara dalam Konteks
Negara Hukum Modern (Yogyakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ilmu
Hukum Fakultas Hukum UMJ kerjasama dengan Total Media, 2010), hlm. 218.
[2]
Valina Singka Subekti, Menyusun
Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses
Perubahan UUD 1945 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008) hlm. 1.
[3] Hal
ini menguntungkan penguasa, menurut Moh. Mahfud MD
tafsir yang harus diterima adalah tafsir yang dikeluarkan Presiden, sebagai
konsekuensi dari kuatnya Presiden sebagai sentral kekuasaan (executive heavy). [Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2003) hlm. 149.]
[4] Ni’matul
Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2006) hlm. 142-143.
[5]
Gagasan ini dicetuskan sebagai upaya sadar untuk memperbaiki keadaaan di mana
kondisi sebelumnya menunjukkan bahwa dalam beberapa hal dianggap telah
menyimpang dari tatanan konstitusi. Konsep dasar ini diangkat dari asumsi bahwa
setiap hukum harus dilaksanakan secara konsisten tanpa memandang subjek yang
dihadapinya. Wibawa hukum harus ditegakkan. Asumsi ini merupakan salah satu
tekad yang hendak memperkokoh implementasi paham Negara hukum. [Donald A.
Rumokoy, Praktik Konvensi Ketatanegaraan
di Indonesia (Jakarta: Media Prima Aksara, 2011) hlm. 273.]
[6]
Moh. Mahfud MD, op.cit., hlm. 140.
[7]
A.M. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca
Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009) hlm. 1-2.
[8] Moh.
Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Jakarta: Rineka
Cipta, 2001) hlm 148-149.
[9]
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945:
Antara Mitos dan Pembongkaran, terjemahan E. Setiyawati A. (Bandung:
Penerbit Mizan, 2007) hlm.170.
[10]
Dalam Penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa kedaulatan rakyat dipegang oleh MPR
dan MPR memegang kekuasaan Negara yang tertinggi.
[11]
Sebelum perubahan UUD 1945, MPR membagikan fungsi-fungsi tertentu sebagai tugas
dan wewenang lembaga-lembaga tinggi Negara yang ada di bawahnya. [A.M. Fatwa, op.cit., hlm. 10.]
[12]
Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2004), hlm. 117.
[13]
Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, op.cit.,
hlm. 74.
[14]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), hlm. 13.
[15]
Teuku Amir Hamzah, Ilmu Negara: Kuliah-Kuliah Padmo Wahjono, SH
(Jakarta: Indo Hill Co., 2003), hlm. 164-165.
[16] Sri
Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negera Menurut UUD 1945 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993),
hlm. 63.
[18]
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam
UUD 1945 (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press,
2004), hlm. 188.
[19] Maria Farida
Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan. Dasar-dasar Pembentukannya (Yogyakarta: Conisius, 1998), hlm 64-65.
[20] Dahlan
Thaib, DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1994), hlm 46-47.
14
Sebelum dilakukan perubahan, Pasal 20 UUD 1945 berbunyi “(1) Tiap-tiap
undang-undang menghendaki persetujuan DPR, dan (2) jika sesuatu rancangan
undang-undang tidak mendapat persetujuan DPR, maka rancangan tadi tidak boleh
dimajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.”
[21]
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi:
Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2010) hlm. 323.
[22]
Pataniari Siahaan, Politik Hukum
Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Penerbit
Konpress, 2012) hlm. 297.
[23] Jimly
Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara
dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, op.cit., hlm 190.
[24] Janedjri M. Gaffar dkk, Dewan Perwakilan Daerah (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003), hlm 4.
[25] DPD RI, Naskah Akademis Usulan Amandemen Komprehensif (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPD
RI, tanpa tahun),
hlm 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar