Kamis, 21 Februari 2013

HUBUNGAN POLITIK HUKUM DENGAN KONSTITUSI

Oleh: Andy Wiyanto

Untuk dapat membaca hubungan antara politik hukum dengan konstitusi, terlebih dahulu haruslah dipahami tentang definisi politik hukum dan konstitusi. Sehingga kemudian berdasarkan dua variable tersebut dapat ditarik korelasinya.
Dibawah ini ada beberapa definisi yang akan disampaikan oleh beberapa ahli tentang politik hukum:

  1. Satjipto Rahardjo
Politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat.

  1. Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus
Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan criteria untuk menghukumkan sesuatu (menjadikan sesuatu sebagai Hukum). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum dan penerapannya.

  1. L. J. Van Apeldorn
Politik hukum sebagai politik perundang – undangan. Yakni politik hukum berarti menetapkan tujuan dan  isi peraturan perundang – undangan. (pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja)

  1. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto
Politik Hukum sebagai kegiatan – kegiatan memilih nilai- nilai dan menerapkan nilai – nilai.

  1. Moh. Mahfud MD.
Politik Hukum ( dikaitkan di Indonesia ) adalah sebagai berikut :
a)      Bahwa definisi atau pengertian hukum juga bervariasi namun dengan meyakini adanya persamaan substansif antara berbagai pengertian yang ada atau tidak sesuai dengan kebutuhan penciptaan hukum yang diperlukan.
b)      Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan Bellefroid dalam bukunya Inleinding Tot de Fechts Weten Schap in Nederland

Kemudian mengenai konstitusi, secara terminologi pertanyaan mengenai apa itu konstitusi dapat dijawab dengan konstitusi adalah dokumen yang berisikan aturan untuk mengoperasikan sebuah organisasi. Menurut Jimly Asshiddiqie organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya, mulai dari organisasi kemahasiswaan, perkumpulan masyarakat di daerah tertentu, serikat buruh, organisasi kemasyarakatan, organisasi politik, dan sebagainya, yang semuanya membutuhkan hukum dasar yang disebut konsitusi. Semua organisasi tersebut membutuhkan Anggaran Dasar yang biasanya juga dilengkapi dengan Anggaran Rumah Tangga. Anggaran Dasar tersebut pada pokoknya dapat dikatakan berfungsi sebagai konstitusi.
Dengan kata lain konstitusi dapat diartikan sebagai segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan. Secara etimologi konstitusi berasal dari bahasa Latin, constitutio yang berkaitan dengan kata jus atau ius yang berarti hukum atau prinsip. Di zaman modern, bahasa yang biasa dijadikan rujukan mengenai istilah ini adalah Inggris, Belanda, Jerman dan Perancis. Bahasa Inggris tidak mengadakan pembedaan pengertian antara konstitusi dengan UUD. Dalam bahasa Inggris, constitution diartikan sebagai undang-undang dasar (UUD). Sedangkan dalam bahasa Belanda membedakan antara istilah constitutie dengan grondwet. Sementara itu dalam bahasa Jerman juga membedakan antara istilah verfassung dan gerundgesetz. Demikian pula dalam bahasa Perancis dibedakan antara droit constitutionnel dan loi constitutionnel. Istilah yang pertama identik dengan pengertian konstitusi, sedangkan istilah yang kedua identik dengan pengertian UUD dalam arti yang tertuang dalam naskah tertulis.
Menurut Miriam Budiardjo, dalam perspektif ilmu politik pengertian konstitusi adalah lebih luas dari pada sekedar naskah tertulis. Bagi kebanyakan sarjana ilmu politik istilah constitution adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Peraturan-peraturan tersebut yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintah diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Beberapa ahli hukum yang juga membedakan istilah konstitusi dengan UUD adalah Van Apeldoorn, Solly Lubis, Mohammad Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Menurut Herman Heller, Unsur-unsur hukum dari suatu konstitusi yang hidup dalam masyarakat baru dapat menjadi kesatuan kaidah hukum konstitusi (rechtverfassung) bila memenuhi dua syarat, yaitu syarat mengenai bentuknya dan syarat mengenai isinya. Bentuknya sebagai naskah tertulis yang merupakan undang-undang tertinggi dan isinya merupakan peraturan-peraturan yang fundamental. Namun demikian, masih terdapat beberapa ahli hukum yang menyamakan istilah konstitusi dengan UUD misalnya adalah G.J. Wolhaff, Sri Soemantri dan J.C.T. Simorangkir.
Berdasarkan dua variable tersebut, maka hubungan antara politik hukum dengan konstitusi suatu negara terletak pada konstitusi yang harus dibuat berdasarkan keseimbangan politik yang ada. Sehingga hukum itu dapat mengakomodir semua kalangan dan tidak cenderung menguntungkan salah satu pihak. Disinilah perlu adanya kesamaan pandangan atau persepsi terhadap kandungan dari peraturan hukum yang diciptakan dari berbagai pihak, baik dari unsur masyarakat, partai politik, organisasi sosial maupun pemerintah dan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari instutusi politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung. ***

2 komentar: