Jumat, 24 Januari 2014

MENIMBANG PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Oleh: Andy WIyanto


A.  Pendahuluan
Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945)[1] baik sebelum maupun setelah perubahan,[2] rumusan Pasal 22 Ayat (1), (2) dan (3) menggariskan bahwa dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (perppu). Kemudian perppu tersebut harus mendapat persetujuan DPR dalam masa persidangan yang berikutnya. Dan jika tidak mendapatkan persetujuan DPR, maka perppu itu harus dicabut. Dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan bahwa Pasal 22 Ayat (1), (2) dan (3) berisi mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Yang mana aturan ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan DPR. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh DPR.

Norma dalam konstitusi tersebut kemudian ditegaskan oleh Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; bahwa perppu adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Kemudian Pasal 7 ayat (1) undang-undang tersebut memasukkan perppu kedalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4.    Peraturan Pemerintah;
5.    Peraturan Presiden;
6.    Peraturan Daerah Provinsi; dan
7.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Berdasarkan hierarki tersebut, kedudukan perppu sederajat dengan Undang-Undang, namun ada kalanya dapat dikatakan tidak sama dengan undang-undang. Karena belum disetujui oleh DPR.[3] Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya undang-undang dan perpu dalam hierarki peraturan perundang-undangan memang memiliki kedudukan yang sama, hanya saja keduanya dibentuk dalam keadaan yang berbeda. Undang-undang dibentuk dengan pembahasan oleh DPR dan Presiden dalam keadaan normal, sedangkan perpu dibentuk oleh Presiden dalam keadaan genting yang memaksa tanpa persetujuan DPR. Perpu tanpa persetujuan DPR karena jika sudah mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, statusnya ditetapkan menjadi undang-undang sebagaimana dimaksud Pasal 53 Ayat (4) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011.
Berdasarkan pemahaman tersebut, setidaknya ada dua hal penting yang perlu diteliti lebih lanjut berkenaan dengan perpu, yaitu makna dibalik perihal kegentingan yang memaksa dan materi muatan di dalam perppu sebagai berikut:

1.    Perihal Kegentingan yang Memaksa
Kegentingan yang memaksa sebagai dasar pembentukan suatu perppu tidaklah sama pengertiannya dengan keadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal 12 yang juga seperti Pasal 22 tidak diubah setelah perubahan UUD 1945; meskipun keduanya merupakan penjabaran yang lebih konkret dari kondisi abnormal pada suatu sistem ketatanegaraan tertentu. Penentuan syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya dalam Pasal 12 jelas memerlukan keterlibatan DPR untuk ditetapkan dengan undang-undang, sedangkan kegentingan yang memaksa dalam Pasal 22 sangat tergantung subyektivitas Presiden, meskipun nantinya tergantung pula pada persetujuan obyektif para wakil rakyat di DPR.[4]
Unsur kegentingan yang memaksa harus menunjukkan dua ciri umum, yaitu adanya krisis dan kemendesakan. Oleh Bagir Manan, suatu keadaan krisis ditafsirkan dengan adanya gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbunse). Sedangkan kemendesakan, diartikan sebagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan memuat suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu. Atau telah ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang wajar (reasonableness), apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan baik bagi masyarakat aupun terhadap jalannya pemerintahan.[5]
Sejalan dengan Bagir Manan, kegentingan yang memaksa menurut Jimly Asshiddiqie lebih ditekankan pada aspek kebutuhan hukum yang bersifat mendesak atau urgensi yang terkait dengan waktu yang terbatas.[6] Kemudian ditambahkan bahwa terdapat tiga syarat materil untuk menetapkan perppu, yaitu: [7]
a.    Ada kebutuhan yang mendesak untuk bertindak (reasonable necessity);
b.    Waktu yang tersedia terbatas atau terdapat kegentingan waktu (limited time); dan
c.    Tidak tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar alternatif lain diperkirakan tidak dapat mengatasi keadaan, sehingga penetapan perppu merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut (beyond reasonable doubt).

Melengkapi dan menutup ajaran-ajaran para ahli tersebut, MK sebagai penafsir konstitusi[8] melalui Putusan No. 138/PUU-VII/2009, menafsirkan frasa kegentingan yang memaksa dalam Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 dengan tiga syarat sebagai berikut:[9]
a.    Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
b.    Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai; dan
c.    Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

2.    Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Materi muatan perpu sebagaimana diutarakan Pasal 11 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 yaitu sama dengan materi muatan undang-undang. Sehingga berdasarkan pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang tersebut materi muatan perppu berisikan:
a.    Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    Perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang;
c.    Pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d.   Tindak lanjut atas putusan MK; dan/atau
e.    Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Bila materi muatan perppu itu dihubungkan dengan tafsir MK atas frasa kegentingan yang memaksa sebagai sebuah penafsiran hukum[10]; maka perppu dapat dikategorikan menjadi dua jenis. Pertama, perppu yang dibuat untuk mengisi kekosongan undang-undang. Kedua, perppu yang dibuat untuk mengubah sebuah undang-undang. Menurut Irawan Soejito, mengubah adalah membuat sesuatu berbeda bentuknya dari bentuk yang semula, sehingga di dalam mengubah termasuk pula menambah atau mengurangi dan mengganti sebagian daripadanya.[11] Sehingga dengan adanya pemahaman tersebut jika dikorelasikan dengan teori perundang-undangan, membuat perppu tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Karena sebagaimana telah diingatkan Hans Kelsen bahwa:
“ .... norma hukum itu valid lantaran dibuat menurut cara yang yang ditentukan oleh suatu norma hukum lainnya, dan norma hukum lainnya ini adalah landasan validitas norma hukum yang disebut pertama. .... Norma yang menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi, norma yang dibentuk menurut peraturan itu adalah norma yang lebih rendah. .... Kesatuan norma ini ditunjukan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu –yakni norma yang lebih rendah– ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan bahwa regresssus ini (rangkaian pembentukan hukum) diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi, yang karena menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tata hukum, membentuk kesatuan tata hukum ini.”[12]

Lebih tegasnya, dengan materi muatannya tersebut perppu sejatinya mendapatkan validitasnya berdasarkan konstitusi; yang menurut C.F. Strong, konstitusi dengan jelas mencantumkan keterangan-keterangan mengenai cara pengaturan berbagai lembaga negara, jenis kekuasaan yang diberikan kepada lembaga-lembaga negara tersebut dan dengan cara bagaimana kekuasaan tersebut dilaksanakan.[13] Sehingga materi muatan perppu harus linear dengan ketentuan konstitusi yang mengatur lembaga negara, kekuasaan lembaga negara dan cara menjalankannya tersebut.[14] Selain itu, dalam penetapan perppu sebagaimana produk legislasi pada umumnya, kebaikan publik hendaknya menjadi tujuan dan manfaat umum menjadi landasan penalarannya.[15]
Berdasarkan materi muatan perppu tersebut, persoalan yang dimungkinkan timbul adalah ketika ada rumusan dalam undang-undang dasar yang multi tafsir atau membutuhkan penafsiran lebih dalam. Untuk mengatasi hal itu, sebagaimana telah dikutip pendapat K.C. Wheare dan Jimly Asshiddiqie bahwa MK sebagai sebuah pengadilan dapat melaksanakan fungsi penafsiran undang-undang dasar. Sehingga materi muatan dari perppu juga harus sejalan dengan penafsiran hukum dalam putusan MK yang dilakukan terhadap UUD NRI Tahun 1945.

B.  Menakar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2013
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Perppu Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Perppu Mahkamah Konstitusi) tanggal 17 Oktober 2013 di Yogyakarta. Presiden berpandangan cukup alasan konstitusional untuk menerbitkan perppu itu terutama untuk membantu MK kembali mendapatkan kepercayaan publik; yang oleh Direktur Lingkar Madani Untuk Indonesia, Ray Rangkuti dinilai justru ironis karena citra Presiden sendiri saat ini di mata rakyat juga merosot.[16] Penilaian tersebut terjawab, ketika tujuan utama dari adanya penetapan Perppu tersebut adalah untuk mengembalikan kewibaan dan kepercayaan masyarakat terhadap MK, tetapi yang terjadi justru sejumlah orang berani melakukan tindakan anarkistis di ruang sidang MK saat pengucapan putusan perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah Provinsi Maluku Tahun 2013.[17] Peristiwa itu menandakan bahwa Perppu Mahkamah Konstitusi tidak berhasil menjawab kebutuhan akan pengembalian kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap MK, sebagai alasan yang digunakan Presiden atas kegentingan memaksa untuk menetapkan sebuah perpu.
Secara formil kendatipun berdasarkan tafsir MK atas Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 memerlukan tiga syarat agar Presiden dapat menetapkan perppu, namun Penulis memiliki keyakinan akademik bahwa perlu pula ditilik secara materil isi dari sebuah perppu. Sehingga dalam bahasan selanjutnya selain akan mengulas kegentingan yang memaksa dalam MK hingga diterbitkannya Perppu Mahkamah Konstitusi, juga akan dibahas mengenai Perpu tersebut secara substantif.

1.    Mengukur Kegentingan yang Memaksa dalam Mahkamah Konstitusi
Dalam konsiderans dengan menyitir Pasal 24C ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, pertimbangan Perppu Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan serta tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara. Dari pertimbangan tersebut, seolah-olah seluruh hakim konstitusi tidak memiliki integritas dan memiliki kepribadian yang tercela, tidak adil dan bukan negarawan. Padahal senyatanya munculnya perppu ini adalah akibat dari adanya operasi  tangkap tangan KPK terhadap mantan Ketua MK, Akil Mochtar; dan bukan karena keseluruhan Hakim MK yang bermasalah.
Berdasarkan parameter kegentingan yang memaksa seperti telah disebutkan sebelumnya. Bahwa harus ada keadaan berupa kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Namun undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Sementara hal tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Dalam kondisi ini instrumen untuk mengatasi kekosongan jabatan hakim konstitusi telah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Undang-Undang Mahkamah Konstitusi) sehingga tidak ada kekosongan hukum karena ketiadaan undang-undang.
Dalam Pasal 26 Ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, disebutkan bahwa dalam jangka waktu paling lama empat belas hari sejak MK menerima Keputusan Presiden (Kepres) Pemberhentian hakim konstitusi, MK memberitahukan kepada DPR, Presiden atau MA (sesuai dengan lembaga pengaju hakim konstitusi yang telah diberhentikan itu) mengenai hakim konstitusi yang diberhentikan tersebut.
Kemudian dalam Ayat (3) disebutkan bahwa lembaga pengaju hakim konstitusi yang telah diberhentikan tersebut mengajukan pengganti hakim konstitusi kepada Presiden dalam jangka waktu paling lambat tiga puluh hari kerja sejak menerima pemberitahuan MK. Dan dalam Ayat (4) disebutkan bahwa Kepres tentang pengangkatan pengganti hakim konsititusi tersebut ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak pengajuan diterima Presiden. Dari ketentuan-ketentuan tersebut tampak bahwa ketentuan undang-undang telah cukup memadai untuk dapat menjawab kebutuhan penggantian hakim konstitusi.
Bahkan, andaikatapun belum ada atau terdapat aturan yang tidak memadai mengenai pengisian kekosongan hakim, MK tetap dapat memeriksa, mengadili dan memutus perkara dalam sidang pleno MK dengan sembilan orang hakim konstitusi. Ketentuan ini dapat dikecualikan dalam keadaan luar biasa dengan dilakukan oleh tujuh orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK. Namun apabila Ketua MK berhalangan, sidang dipimpin oleh Wakil Ketua MK. Dan apabila Ketua dan Wakil Ketua MK berhalangan secara bersamaan, sidang pleno MK dipimpin oleh ketua sementara yang dipilih dari dan oleh Anggota MK. Regulasi ini merujuk pada Pasal 28 Ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, regulasi dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi telah memadai untuk dapat menjawab permasalahan tentang pengisian kekosongan hakim konstitusi.

2.    Substansi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2013
Konsiderans Perppu Mahkamah Konstitusi juga memandang secara sosiologis bahwa perlu diadakan perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia serta untuk mengembalikan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap MK sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan UUD NRI 1945.
Adanya frasa untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia perlu didalami maknanya yang hanya dipahami oleh Presiden sebagai penetap perppu. Sebab agak sulit untuk dipahami bahwa hanya dengan adanya operasi tangkap tangan Akil Mochtar oleh KPK dapat merusak demokrasi dan negara hukum Indonesia. Kasus tersebut hanyalah satu variabel kecil diantara variabel-variabel besar lainnya dalam konteks demokrasi dan negara hukum Indonesia.
Kemudian berkenaan dengan mengembalikan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap MK, diterjemahkan dalam pasal-pasal Perppu Mahkamah Konstitusi dengan dilakukan perubahan terhadap ketentuan mengenai syarat dan tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan calon hakim konstitusi serta pembentukan majelis kehormatan hakim konstitusi yang akan dijabarkan selanjutnya.

a.    Syarat Hakim Konstitusi
Dalam UUD NRI Tahun 1945, secara implisit hakim konstitusi harus memiliki beberapa kriteria sebagaimana dimuat dalam Pasal 24C Ayat (5), yaitu memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Rumusan tersebut kemudian diamanatkan oleh Pasal 24C Ayat (6) untuk diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Oleh karena itu dalam Pasal 15 Ayat (2) dan Pasal 17 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi kemudian ditambahkan syarat dan laranganan rangkap jabatan hakim konstitusi sebagai berikut:
1)   Warga Negara Indonesia;
2)   Berijazah doktor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;
3)   Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
4)   Berusia paling rendah empat puluh tujuh tahun dan paling tinggi enam puluh lima tahun pada saat pengangkatan;
5)   Mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan kewajiban;
6)   Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
7)   Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;
8)   Mempunyai pengalaman kerja dibidang hukum paling sedikit lima belas tahun; dan
9)   Dilarang merangkap menjadi: pejabat negara lainnya, anggota partai politik, pengusaha, advokat dan pegawai negeri.

Pengaturan tersebut tidak mengalami perubahan yang signifikan dalam Perppu Mahkamah Konstitusi kecuali terkait dengan penambahan norma dalam Pasal 15 Ayat (2) yaitu adanya larangan menjadi anggota partai politik yang diberikan jangka waktu paling singkat tujuh tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi. Adanya perubahan norma dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tersebut sudah tepat bila dihubungkan dengan materi muatan perppu yaitu untuk mengisi adanya kekosongan undang-undang atau untuk mengubah undang-undang.
Tinggal kemudian secara substantif, adanya larangan sebagai anggota partai politik yang secara limitatif ditentukan selama minimal tujuh tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi perlu untuk dimengerti lebih lanjut. Penulis sependapat bila memang harus diadakan batasan minimum keanggotaan partai politik yang demikian. Karena secara psikologis membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat memisahkan kedekatan seseorang dengan partai politik yang dahulu pernah diikutinya, sehingga orang tersebut dapat menjadi negarawan dalam arti yang sesungguhnya. Terlebih bila partai politik tersebut pernah menghantarkan orang itu menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum.
Namun yang perlu diadakan pengkajian lebih lanjut adalah berkenaan dengan munculnya batasan minimum tersebut selama tujuh tahun, ditengah adanya pilihan lain yang terbuka baik kurang mapun lebih dari tujuh tahun. Dalam gelapnya rujukan, munculnya angka tujuh menjadi pertanyaan yang tidak mudah dimengerti dan mudah dibaca orang secara politis.

b.   Perekrutan Hakim Konstitusi
MK memiliki sembilan orang hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, tiga orang oleh DPR dan tiga orang oleh Presiden, hal ini seperti termuat dalam Pasal 24C Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Sejalan dengan itu, Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi juga memuat norma yang sama. Kemudian dalam Ayat (2) diatur lebih lanjut bahwa Kepres tentang Penetapan Hakim Konstitusi tersebut ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat tujuh hari sejak pengajuan calon diterima oleh presiden.
Dalam Perppu Mahkamah Konstitusi mekanisme tersebut ditambahkan bahwa sebelum hakim konstitusi ditetapkan oleh Presiden, terlebih dahulu harus melalui uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli sebagaimana dimaksud oleh jantung perppu terkait dengan pengangkatan hakim konstitusi Pasal 18A Ayat (1). Ketentuan ini mereduksi garis politik hukum UUD NRI Tahun 1945. Karena dengan tegas dan nyata perihal tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan calon hakim konstitusi hanya dinyatakan diajukan oleh MA, DPR dan Presiden yang masing-masing berjumlah tiga orang hakim konstitusi. Kemudian berdasarkan pengajuan itu ditetapkan oleh Presiden dengan kepres.
Penyimpangan Perppu Mahkamah Konstitusi terhadap UUD NRI Tahun 1945 tersebut secara teoritis akademis tidak mendapatkan batu pijakan. Karena secara substantif, materi muatan dari perppu adalah sama dengan undang-undang yang memperoleh validitas normanya berdasarkan UUD NRI Tahun 1945. Sehigga perppu yang ideal di dalamnya memiliki materi muatan yang sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 yang dapat berfungsi untuk mengisi kekosongan undang-undang maupun mengubah undang-undang yang telah ada namun tidak memadai.

c.    Kode Etik dan Pengawasan Hakim Konstitusi
Sekalipun dalam konsiderans Perppu Mahkamah Konstitusi tidak disebutkan bahwa kode etik merupakan hal-hal yang utama perlu diubah, namun dalam pasal-pasal Perppu Mahkamah Konstitusi ketentuan mengenai kode etik hakim konstitusi juga megalami perubahan.
Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi dalam Pasal 27A Ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mengalami perubahan dalam Perppu Mahkamah Konstitusi. Bila dalam Undang-Undang dikatakan bahwa yang berkewajiban untuk melakukan hal tersebut adalah MK, maka dalam Perppu diubah menjadi MK bersama-sama dengan KY. Dalam Pasal 27A Ayat (2) Perppu juga dimungkinkan untuk mengikutsertakan pihak lain yang berkompeten dalam penyusunan kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi. Hal ini tentu tidak menjadi persoalan mengingat bahwa secara materil fungsi perppu salah satunya adalah untuk mengubah undang-undang.
  Kemudian berkenaan dengan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sebagai penegak Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi dalam rangka mengawasi hakim konstitusi, berdasarkan Perppu ditentukan bahwa Majelis tersebut dibentuk oleh MK dan KY. Adanya ketentuan ini telah mengkaburkan Penafsiran Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang Nomor 4 Tahun  2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tersebut telah menafsirkan makna dari frasa hakim dalam Pasal 24B Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagai hakim yang tidak mencakup pengertian hakim dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945. Dalam pertimbangan, MK meninjau secara sistematis dan dari penafsiran berdasarkan original intent perumusan ketentuan UUD NRI Tahun 1945, ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD NRI Tahun 1945 memang tidak berkaitan dengan ketentuan mengenai MK yang diatur dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945. Dalam risalah-risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR maupun dari keterangan para mantan anggota Panitia Ad Hoc tersebut dalam persidangan bahwa perumusan ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD NRI Tahun 1945 memang tidak pernah dimaksudkan untuk mencakup pengertian hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945.
Dengan demikian Perppu Mahkamah Konstitusi yang telah menggeser kekuasaan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi telah membuat kabur Putusan Mahkamah Konstitusi. Padahal Putusan tersebut sebagai tafsir UUD NRI Tahun 1945 dari frasa KY yang memiliki kewenangan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Oleh karena itu, materi muatan Perppu Mahkamah Konstitusi seharusnya tidak bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir final atas sebuah konstitusi. Sehingga dalam tafsir yang demikian, sudah tepat bila menempatkan kekuasaan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi pada MK saja. Dan Majelis tersebut mendapatkan konstitusionalitasnya jika dibentuk oleh MK sebagaimana dimaksud Pasal 27A Ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

C.  Penutup
1.    Kesimpulan
Perppu Mahkamah Konstitusi yang muncul sebagai reaksi atas berkurangnya kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap MK karena Akil Mochtar diberhentikan dengan tidak hormat, tidak memiliki dasar kegentingan yang memaksa sebagai syarat formil dalam penetapan sebuah perppu. Hal ini dibuktikan dengan adanya tindakan anarkis di MK sekalipun Perppu tersebut sudah ditetapkan. Artinya, kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap MK belum pulih dan Perppu ini tidak dapat menjawabnya. Sedangkan mekanisme pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi yang diubah dalam Perppu ini sesungguhnya telah dapat mengatasi persoalan kekosongan jabatan hakim.
Kemudian secara materil, Perppu mengatur tentang syarat hakim konstitusi yang telah mengubah pengaturannya di dalam Undang-Undang Mahkamah konstitusi. Perubahan syarat hakim konstitusi dimaksud memang dapat dilakukan oleh Perppu, hanya saja perubahan itu menyisakan persoalan akademis. Mengenai calon hakim konstitusi yang harus jeda setidaknya selama tujuh tahun dari keanggotaan partai politik. Munculnya ketentuan tujuh tahun tersebut sulit untuk ditemukan rujukannya, ditengah banyak pilihan lain yang bisa lebih besar maupun lebih kecil dari tujuh tahun. Hal ini sangat memungkinkan untuk dibaca secara politis oleh masyarakat.
Substansi Perppu Mahkamah Konstitusi juga berisi tentang mekanisme perekrutan hakim konstitusi yang tidak hanya merubah ketentuan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, namun juga menyimpang dari ketentuan UUD NRI Tahun 1945. Perihal hal ini telah terang benderang bahwa Perppu semestinya tidak boleh bertentangan dengan konstitusi dan hanya mengisi kekosongan undang-undang atau memperbaiki ketentuan undang-undang yang tidak memadai.
Perppu Mahkamah Konstitusi juga memuat pengaturan tentang kode etik dan pengawasan hakim konstitusi. Berkenaan dengan penyusunan serta penetapan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang tidak diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, ketentuannya diatur dengan undang-undang. Sehingga Perppu Mahkamah Konstitusi dapat mengubah ketentuan tersebut.
Sedangkan berkenaan degan pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sebagai penegak Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi dalam rangka mengawasi hakim konstitusi oleh MK dan KY, bertentangan degan Putusan Mahkamah Konstitusi atas penafsiran UUD 1945 terhadap frasa hakim yang dapat diawasi KY. Kedudukan Penafsiran Hukum tersebut oleh MK menjadikan Perppu tidak boleh bertentangan degan tafsir konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi.

2.    Saran
Perppu Mahkamah Konstitusi yang tidak memenuhi kriteria kegentingan yang memaksa dan secara substantif banyak menyimpang dari ketentuan UUD NRI Tahun 1945 perlu untuk di revisi dengan perppu atau dilakukan uji  materi di MK.

***

DAFTAR PUSTAKA

Ashiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara Darurat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.
-------. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.
Bentham, Jeremy, Teori Perundang-Undangan, terjemahan Nurhadi, Penerbit Nuansa Cendekia & Nusa Media, Bandung, 2013.
Indonesia, Republik, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013.
-------. Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pengujian Perppu No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009.
-------. Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 dan Undang-undang Nomor 4 Tahun  2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
-------. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
-------. Undang-Undang Dasar 1945.
-------. Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
-------. Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011.
Kelsen, Hans, Teori Umum Hukum dan Negara, terjemahan Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007.
Kompas,  “Perppu MK Diterbitkan”, 18 Oktober 2013.
-------. “Wibawa MK Hancur Lebur”, 15 November 2013.
Manan, Bagir, Lembaga Kepresidenan, Penerbit Gama Media, Yogyakarta, 1999.
Soejito, Irawan, Teknik Membuat Undang-Undang, Pradnya Paramita, Jakarta: 1993.
Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998.
Strong, C.F., Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk, terjemahan Derta Sri Widowatie, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2013.
Wheare, K.C., Konstitusi-Konstitusi Modern, terjemahan Imam Baehaqie, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2013.



[1] Dalam tulisan ini Penulis menggunakan nomenklatur Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) untuk merujuk pada konstitusi sebelum perubahan dan pada saat dilakukan perubahan, sedangkan nomenklatur Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) sebagai penyebutan resmi akan digunakan sebagai rujukan atas konstitusi setelah perubahan. Penggunaan nommenklatur tersebut dapat berbeda dalam hal penggunaan kutipan sebagaimana digunakan oleh penulis terkutip.
[2] Rumusan tentang perppu yang tidak berubah dalam UUD 1945 setelah perubahan menjadikan perppu sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara esensial selalu diakui. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa eksistensi perppu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia masih diperlukan dan tidak memerlukan perubahan apapun dari segi esensinya sebagai salah satu konsekuensi logis dianutnya sistem presidensiil dalam pemerintahan Negara Republik Indonesia.
[3] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998), Hlm. 97.
[4] Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 12-13.
[5] Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan (Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 1999), hlm. 158-159.
[6] Jimly Ashiddiqie, op.cit., hlm. 207.
[7] Ibid, hlm. 282.
[8] Bahkan menurut Jimly Asshiddiqie, disamping berfungsi sebagai pengawal dan penafsir konstitusi, MK juga sebagai pengawal demokrasi (the guardian and the sole interpreter of the constitution, as well as the guardian of the process of the democratization). [Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 154-155.]
[9] Vide Pertimbangan Hukum Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Perppu No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[10] Pengadilan dan hakim bisa melaksanakan fungsi penafsiran konstitusi. Karena tugas hakim adalah memutuskan apa yang dimaksud hukum, termasuk di dalamnya adalah konstitusi. [K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, terjemahan Imam Baehaqie (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2013), hlm. 151.]
[11] Irawan Soejito, Teknik Membuat Undang-Undang (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), hlm. 145.
[12] Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara, terjemahan Somardi (Jakarta: Bee Media Indonesia, 2007), hlm. 155.
[13] C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk, terjemahan Derta Sri Widowatie (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2013), hlm. 15-16.
[14] Dengan lugas dalam Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009, Muhammad Alim memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) yang menyatakan bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Sehingga rakyatlah yang akan menentukan melalui wakil-wakilnya di MPR apakah perlu ada penambahan atau pengurangan wewenang lembaga-lembaga negara yang ada. Mekanisme untuk menambah, mengurangi ataupun mengalihkan wewenang dari setiap lembaga negara harus ditentukan secara pasti oleh konstitusi. Dan jika dalam praktik ada kebutuhan untuk mengisi kekosongan norma, maka MPR harus mengkaji apakah perlu dilakukan amandemen konstitusi untuk menampung kebutuhan tersebut atau tidak.
[15] Jeremy Bentham, Teori Perundang-Undangan, terjemahan Nurhadi (Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia & Nusa Media, 2013), hlm. 25.
[16] “Perppu MK Diterbitkan”, Kompas, 18 Oktober 2013, hlm. 4.
[17] “Wibawa MK Hancur Lebur”, Kompas, 15 November 2013, hlm. 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar