Selasa, 01 Desember 2015

Kekuasaan Membentuk Undang-Undang dalam Sistem Pemerintahan Presidensial setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 – Jurnal Negara Hukum; Vol. 6 No. 2, November 2015

Perubahan UUD 1945 membawa pergeseran paradigma hubungan antar lembaga negara di Indonesia. Termasuk pembagian kekuasaan dalam membentuk undang-undang setelah perubahan UUD 1945 juga mengalami perubahan secara signifikan. Namun pergeseran kekuasaan tersebut, bukan berarti tanpa kelemahan konseptual. Pendulum kekuasaan yang tadinya dominan eksekutif, kini menjadi dominan DPR. Gagasan untuk membatasi kekuasaan tersebut, ternyata belum mampu diaplikasikan dalam sebuah norma. Selain karena Presiden masih secara aktif memiliki kekuasaan dalam membentuk undang-undang, kekuasaan membentuk undang-undang yang dimiliki DPD juga minimalis. Secara konseptual dalam sistem pemerintahan presidensil, kekuasaan membentuk undang-undang haruslah ditempatkan sebagai kekuasaan yang dimiliki legislatif. Sehingga terdapat pembagian kekuasaan yang seimbang dalam lembaga legislatif, yaitu DPR dan DPD. Sedangkan kedudukan Presiden dalam kekuasaan membentuk undang-undang haruslah ditempatkan sebagai pengejawantahan atas prinsip checks and balances. Oleh karena itu, pembagian kekuasaan untuk membentuk undang-undang masih harus diperlukan penyempurnaan. Tulisan ini berusaha untuk menjawab tantangan tesebut dan berupaya untuk bagaimana menggagas format yang lebih baik lagi kedepannya.

Selengkapnya, dapat dibaca dalam “Kekuasaan Membentuk Undang-Undang dalam Sistem Pemerintahan Presidensial setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945” pada Jurnal Negara Hukum berikut:
Download: Kekuasaan Membentuk Undang-Undang dalam Sistem Pemerintahan Presidensial setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 – Jurnal Negara Hukum; Vol. 6 No. 2, November 2015.pdf

Rabu, 01 Juli 2015

Majalah Konstitusi No. 100, Edisi Juni 2015 – Validitas Antropologis Yurisprudensi

Yurisprudensi dapat dilihat dari perspektif antropologi. Sama seperti hukum pada umumnya, jika yurisprudensi dipandang an sich hanya sebatas persoalan hukum; maka akan menciptakan suatu tatanan yang kering dan dangkal! Bagaimana dasar keberlakuan yurisprudensi secara antropologis? Temukan pengantarnya dalam “Validitas Antropologis Yurisprudensi” pada kolom opini Majalah Konstitusi yang dapat diunduh disini:

Selasa, 06 Januari 2015

TUHAN YANG MAHA ESA DAN KETUHANAN

BAB I
PENDAHULUAN

Konsepsi tentang ketuhanan yang maha esa menurut aqidah Islam disebut dengan tauhid. Ilmunya adalah ilmu tauhid yaitu ilmu yang membicarakan kemaha esaan Tuhan. Dalam ilmu tauhid dibicarakan tentang sifat-sifat, nama-nama dan Perbuatan Allah atau dengan istilah bahasa arab sifat, asma dan af'al Allah, dari himpunan ketiga unsur ini ada didalamnya zat wajibul wujud (wajib adanya) yaitu Allah SWT  artinya zat Allah SWT mempunyai sifat, asma dan af’al dan setiap ada sifat, asma dan af’al maka pasti ada yang memilikinya yaitu zat Allah SWT.[1] Mengenai kemaha esaan Allah SWT ini telah digambarkan dalam sebuah Surah Al Ikhlas ayat 1 yang berbunyi “Katakanlah: Dia-lah Allah, yang Maha Esa.” Begitu pentingnya konsepsi ini, sehingga dianut oleh Pancasila yang oleh Soekarno disebut sebagai Philosofische grondslag. Yaitu sebagai fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima asas.[2]